Musim haji tahun 2025 menjadi penanda sebuah kisah luar biasa yang terukir dalam perjalanan spiritual Pak Zainal (51). Di tengah keramaian jutaan jemaah dari seluruh penjuru dunia, langkahnya menuju Baitullah bukan sekadar menunaikan rukun Islam kelima, melainkan sebuah epilog dari janji suci dan kebaikan hati yang bersemi jauh di masa lalu.Â
Kisah ini, yang ia beberkan kepada saya beberapa hari yang lalu melalui sambungan whatsapp dengan penuh rasa syukur, adalah bukti nyata bagaimana takdir bekerja melalui perbuatan baik, mengubah pengorbanan kecil menjadi panggilan agung.
Semua bermula pada tahun 2012, di sebuah sudut kota Bandung yang tenang. Kala itu, seorang tetangga Pak Zainal terbaring lemah, digerogoti penyakit parah yang tak kunjung sembuh. Hari demi hari berlalu, namun kondisi sang tetangga tak jua membaik, menimbulkan kegelisahan dan keputusasaan di hati keluarganya. Berbagai upaya pengobatan telah dicoba, namun hasilnya nihil, seolah takdir enggan berpihak.
Di tengah suasana kelabu itu, sang tetangga, dalam keputusasaannya, melontarkan sebuah janji. Sebuah janji yang mungkin terdengar mustahil kala itu, namun keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Ia berujar, dengan suara lirih namun penuh tekad, "Siapa pun yang bisa mengantarkan saya untuk berobat dan membuat saya sembuh, akan saya berangkatkan haji." Janji itu adalah secercah harapan di tengah kegelapan, sebuah ikrar yang mengikat masa depan dengan kesembuhan.
Pak Zainal, dengan ketulusan hati yang mengalir dalam darahnya, tanpa ragu menyambut janji itu. Ia tak berpikir panjang tentang imbalan atau balasan. Yang ada dalam benaknya hanyalah keinginan tulus untuk membantu, untuk meringankan beban tetangganya yang sedang dirundung nestapa. Dengan penuh dedikasi, ia mengantarkan tetangganya berobat, mendampingi setiap proses, setiap harapan yang dipupuk.
Hari-hari Pak Zainal kala itu dipenuhi dengan ikhtiar. Ia menemani sang tetangga berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, dari satu ahli medis ke ahli medis lain. Perjalanan itu bukan hanya menguras tenaga, tetapi juga emosi. Ada kalanya harapan menipis, namun semangat Pak Zainal tak pernah padam. Ia adalah tiang penyangga bagi tetangganya yang sedang berjuang, sebuah simbol kemanusiaan yang tak lekang oleh kesulitan.
Dan qadarullah, keajaiban pun terjadi. Setelah serangkaian upaya dan doa yang tak henti, kondisi kesehatan sang tetangga berangsur membaik. Perlahan namun pasti, tubuh yang tadinya lemah mulai menunjukkan tanda-tanda kekuatan, senyum yang sempat pudar kini kembali merekah. Kesembuhan itu bukan hanya memulihkan fisik, melainkan juga menumbuhkan kembali semangat hidup yang nyaris padam.
Sang tetangga, yang kini telah pulih seutuhnya, tak pernah melupakan janji yang pernah ia ikrarkan di saat-saat terberat hidupnya. Janji itu bukan sekadar kata-kata, melainkan sebuah ikatan suci yang harus dipenuhi. Dengan hati penuh syukur dan rasa terima kasih yang mendalam, ia segera mendaftarkan Pak Zainal untuk berhaji. Sebuah balasan atas ketulusan dan pengorbanan yang tak ternilai harganya.
Namun, rezeki tak datang sendirian. Selain pendaftaran haji, sang tetangga juga memberikan kejutan lain. Sebagai bentuk apresiasi dan kebahagiaan atas kesembuhan yang telah ia rasakan, ia juga memberangkatkan Pak Zainal untuk umroh kala itu. Ini adalah bonus tak terduga, sebuah pembuka gerbang menuju Tanah Suci yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Pak Zainal.
Perjalanan umroh pada tahun 2012 itu menjadi pengalaman spiritual pertama bagi Pak Zainal di Tanah Haram. Ia merasakan kedamaian yang mendalam, sebuah ketenangan jiwa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Setiap langkah thawaf, setiap hembusan napas di Raudhah, adalah momen-momen yang mengukir makna baru dalam hidupnya. Ia sadar, panggilan ini adalah anugerah, buah dari ketulusannya membantu sesama.
Setelah kepulangan dari umroh, Pak Zainal kembali menjalani hari-harinya di Bandung. Namun, dalam hatinya, benih kerinduan akan Baitullah telah tertanam. Ia tahu, panggilan haji yang telah didaftarkan membutuhkan kesabaran. Antrean yang panjang adalah kenyataan yang harus dihadapi oleh jutaan umat Muslim di Indonesia.