Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), sebuah momentum penting untuk merefleksikan perjalanan panjang dunia pendidikan serta menatap harapan dan tantangan di masa depan. Namun, di tengah gegap gempita perayaan dan semangat untuk terus maju, muncul sebuah pertanyaan mendasar yang patut kita renungkan bersama.Â
Dalam hiruk pikuk modernisasi dan tuntutan global, adakah esensi mendasar dari pendidikan yang perlahan tergerus dan perlu kita gali kembali? Hardiknas kali ini bukan hanya sekadar mengenang jasa para pahlawan pendidikan, tetapi juga menjadi panggilan untuk mengidentifikasi elemen-elemen krusial yang mungkin terlupakan atau terabaikan dalam sistem pendidikan kita saat ini.
Topik "Hardiknas: Apa yang Hilang dan Perlu Kita Temukan Kembali dalam Pendidikan?" mengajak kita untuk melakukan introspeksi yang lebih mendalam. Bukan hanya tentang kurikulum yang terus berubah, teknologi yang semakin canggih, atau infrastruktur yang perlu ditingkatkan, melainkan juga tentang nilai-nilai, pendekatan, dan filosofi pendidikan yang mungkin meredup di tengah arus perubahan zaman.Â
Apakah kita masih menjunjung tinggi semangat kemerdekaan belajar yang diamanatkan Ki Hadjar Dewantara? Apakah relasi antara guru dan murid masih dilandasi oleh rasa hormat dan kasih sayang? Apakah proses belajar mengajar masih mampu menumbuhkan karakter yang kuat dan budi pekerti luhur di samping mengejar capaian akademik semata? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi landasan bagi kita untuk menelisik lebih jauh tentang apa yang mungkin hilang dan mendesak untuk ditemukan kembali dalam ekosistem pendidikan Indonesia.
Bahasan ini akan mencoba mengurai beberapa aspek penting yang patut menjadi perhatian dalam konteks Hardiknas kali ini. Kita akan membahas tentang hilangnya sentuhan personal dalam pembelajaran di era digital, meredupnya ruang kreativitas dan eksplorasi akibat tekanan kurikulum yang padat, tergerusnya nilai-nilai kearifan lokal dalam pendidikan nasional, serta tantangan dalam menumbuhkan karakter holistik di tengah gempuran informasi dan budaya global.Â
Melalui uraian bahasan ini, diharapkan kita dapat bersama-sama merenungkan, berdiskusi, dan pada akhirnya menemukan kembali esensi pendidikan yang sejati, yang mampu melahirkan generasi penerus bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki jiwa yang merdeka, berakhlak mulia, dan peduli terhadap sesama serta lingkungannya.
Meredupnya Sentuhan Personal di Era Digital
Meredupnya sentuhan personal di era digital menjadi perhatian serius seiring dengan masifnya integrasi teknologi dalam dunia pendidikan. Meskipun platform pembelajaran daring, aplikasi edukasi, dan berbagai perangkat digital menawarkan fleksibilitas dan aksesibilitas yang belum pernah ada sebelumnya, kita perlu mewaspadai potensi hilangnya interaksi tatap muka yang humanis antara guru dan murid.Â
Proses belajar mengajar yang dulunya sarat dengan komunikasi dua arah, diskusi kelas yang hangat, dan bimbingan individual yang mendalam, kini seringkali tereduksi menjadi pertukaran informasi melalui layar. Kehangatan seorang guru yang memberikan semangat, senyuman tulus yang memotivasi, atau bahkan teguran kasih sayang yang mendidik, mungkin sulit tergantikan oleh interaksi digital yang cenderung lebih formal dan terbatas.
Dampak dari meredupnya sentuhan personal ini tidak hanya terbatas pada aspek kognitif, tetapi juga merambah ranah emosional dan sosial siswa. Pembelajaran tatap muka memungkinkan siswa untuk belajar berinteraksi, berempati, bekerja sama, dan memahami ekspresi nonverbal orang lain. Keterampilan sosial dan emosional ini sangat penting untuk perkembangan holistik siswa dan kesiapan mereka dalam menghadapi kehidupan bermasyarakat.Â
Jika interaksi personal yang berkualitas berkurang, dikhawatirkan akan berdampak pada kemampuan siswa dalam membangun relasi yang sehat, mengelola emosi, dan mengembangkan kecerdasan sosial yang matang. Oleh karena itu, di era digital ini, penting bagi kita untuk mencari cara bagaimana teknologi dapat dimanfaatkan secara bijak tanpa mengorbankan esensi dari interaksi manusiawi yang menjadi salah satu pilar penting dalam pendidikan yang bermakna.