Indonesia kaya akan warisan kuliner tradisional yang melekat erat dengan identitas daerahnya. Dua di antaranya yang sangat ikonik dari Jawa Barat adalah Wajit Cililin dan Galendo Ciamis. Wajit, dengan teksturnya yang legit dan rasa manis gula kelapa yang khas, telah lama menjadi oleh-oleh wajib dari kawasan Kabupaten Bandung Barat, khususnya Cililin.Â
Tak kalah populer, Galendo dari Ciamis menawarkan sensasi renyah manis gurih yang unik, dihasilkan dari sari kelapa tua yang diolah sedemikian rupa. Keduanya bukan sekadar camilan, melainkan representasi kekayaan lokal dan penopang ekonomi bagi banyak usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di wilayah masing-masing.
Namun, di balik manisnya cita rasa dan pentingnya peran ekonomi kedua kudapan ini, kini muncul ancaman serius dari arah yang tak terduga, lonjakan harga bahan baku utamanya, yaitu kelapa. Jika tahun lalu harga satu butir kelapa di tingkat petani atau pengepul masih berkisar Rp 3.000, kini angkanya sudah melonjak drastis.Â
Harga kelapa sempat menyentuh puncak yang mengejutkan hingga Rp 13.000 per butir, dan saat ini pun masih bertahan di kisaran tinggi, mencapai Rp 10.000. Fenomena kenaikan harga kelapa ini tidak hanya terjadi di Ciamis atau Bandung, melainkan meroket secara merata di banyak daerah lain di seluruh Indonesia, menciptakan tekanan luar biasa pada industri yang sangat bergantung padanya.
Kenaikan harga kelapa yang signifikan dan masif ini secara langsung menerjemahkan "Manisnya Wajit Cililin dan Galendo Ciamis Terancam Pahit". Biaya produksi melonjak berkali-kali lipat, memaksa para perajin menghadapi dilema sulit, menaikkan harga jual yang berisiko menurunkan daya beli konsumen, mempertahankan harga jual dengan mengorbankan margin keuntungan atau bahkan kualitas, atau terpaksa mengurangi produksi bahkan gulung tikar.Â
Ancaman kepahitan ekonomi ini nyata di depan mata para pelaku usaha tradisional ini. Di tengah situasi genting ini, muncul pertanyaan krusial: Bisakah Wajit Cililin dan Galendo Ciamis, serta para perajinnya, Bangkit?
Mengukur Dampak Ekonomi: Beban Biaya Produksi dan Dilema Penentuan Harga Jual
Lonjakan harga kelapa yang ekstrem ini sontak membalikkan perhitungan ekonomi yang selama ini menjadi patokan para perajin. Bayangkan, bahan baku utama yang sebelumnya berkontribusi hanya Rp 3.000 per butir, kini melonjak menjadi tiga hingga empat kali lipatnya. Untuk memproduksi satu kuali besar wajit atau satu batch galendo, diperlukan puluhan hingga ratusan butir kelapa, tergantung skala produksi.Â
Artinya, biaya untuk sekadar mendapatkan bahan baku dasar kini membengkak secara eksponensial, menggerogoti porsi terbesar dari total biaya produksi, jauh melampaui komponen lain seperti gula, tenaga kerja, atau pengemasan. Margin keuntungan yang sebelumnya tipis pun kini nyaris tak bersisa, bahkan banyak yang terancam merugi di setiap produksi.
Menghadapi kenyataan pahit ini, para perajin dihadapkan pada dilema penentuan harga jual yang pelik. Menaikkan harga produk jadi, baik wajit maupun galendo, adalah langkah logis untuk menutupi kenaikan biaya bahan baku. Namun, pasar kudapan tradisional seperti ini sangat sensitif terhadap harga.Â
Kenaikan harga jual yang signifikan berisiko membuat produk mereka kalah bersaing atau tidak lagi terjangkau oleh konsumen setia, yang mungkin beralih ke camilan lain yang lebih murah. Di sisi lain, jika mereka menahan harga jual atau hanya menaikkan sedikit, profit margin akan tergerus habis, membuat roda usaha sulit berputar dan menabung untuk modal kerja berikutnya menjadi mustahil.