Dentang waktu terus berdetak, membawa kita semakin dekat dengan momentum sakral keberangkatan jemaah haji tahun 1446 Hijriah. Kegembiraan bercampur haru menyelimuti hati para calon tamu Allah di seluruh penjuru Indonesia, seiring dengan pengumuman jadwal keberangkatan dari Kementerian Agama Republik Indonesia. Fase penting persiapan fisik dan mental akan segera dimulai, ditandai dengan masuknya calon jemaah ke asrama haji pada tanggal 1 Mei 2025.
Tanggal 1 Mei 2025 menjadi gerbang awal bagi ribuan calon jemaah untuk memasuki dimensi persiapan yang lebih intensif, meninggalkan sejenak rutinitas harian mereka demi fokus pada panggilan suci. Ini adalah masa karantina singkat, pemantapan akhir, dan pembekalan sebelum langkah monumental dilayarkan. Tak lama berselang, pada tanggal 2 Mei 2025, kloter pertama jemaah haji Indonesia akan memulai perjalanan panjang menuju Tanah Suci, mengarungi samudra untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.
Dalam bayangan banyak orang, persiapan haji utamanya berpusat pada Manasik Haji yang mendalami rukun dan sunah ibadah. Para calon jemaah berkumpul, menyimak penjelasan ustaz atau kyai, mempraktikkan gerakan-gerakan thawaf, sa'i, wukuf, dan melempar jumrah. Mereka belajar menghafal doa-doa penting, memahami syarat dan rukun setiap tahapan, serta mengetahui apa saja yang menjadi sunah dalam ibadah agar haji mereka semakin sempurna.
Fokus pada rukun dan sunah memang esensial, tak terbantahkan keutamaannya sebagai fondasi ibadah yang sah. Namun, ibadah haji di Tanah Suci tidak hanya tentang ritual di Masjidil Haram atau Arafah; ia adalah juga sebuah pengalaman hidup di lingkungan yang sama sekali baru dan berbeda. Keberhasilan menjalani ibadah dengan nyaman dan khusyuk sangat bergantung pada kesiapan jemaah dalam beradaptasi dengan segala aspek kehidupan di Arab Saudi, jauh melampaui sekadar gerakan fisik ibadah.
Di sinilah letak urgensi Manasik Haji yang komprehensif, yang memandang persiapan haji secara holistik. Manasik yang ideal tidak hanya membekali jemaah dengan ilmu fiqih yang mumpuni, tetapi juga dengan pemahaman mendalam tentang kondisi aktual, kebiasaan masyarakat, dan budaya lokal di Tanah Suci. Tujuannya adalah meminimalkan kejutan budaya (culture shock) dan memastikan jemaah dapat berfokus sepenuhnya pada ibadah tanpa terganggu oleh masalah adaptasi sehari-hari.
Salah satu aspek budaya yang paling mendasar dan memiliki dampak langsung terhadap kenyamanan jemaah adalah budaya pangan. Setiap daerah, bahkan setiap negara, memiliki kebiasaan makan, jenis makanan favorit, cara mengolah, hingga waktu makan yang berbeda. Perbedaan ini mungkin terlihat sepele, tetapi dalam konteks perjalanan jauh yang penuh tantangan fisik seperti haji, adaptasi dengan budaya pangan yang baru bisa menjadi sumber masalah jika tidak dipersiapkan.
Di Indonesia, kekayaan budaya pangan terekspresikan dalam berbagai hidangan lezat, salah satunya adalah Nasi Liwet. Lebih dari sekadar nasi yang dimasak dengan santan dan rempah, Nasi Liwet seringkali disajikan dalam kebersamaan, dinikmati bersama lauk pauk yang beragam di atas daun pisang (botram). Nasi Liwet merepresentasikan keakraban, kekayaan rasa Nusantara, dan kebiasaan makan yang komunal dan penuh cita rasa lokal yang kuat. Ini adalah bagian dari identitas kuliner kita sebelum berangkat.
Setibanya di Tanah Suci, jemaah akan disambut dengan suasana yang berbeda total, termasuk dalam urusan kuliner. Meskipun sebagian besar jemaah Indonesia difasilitasi dengan katering yang berusaha menyesuaikan lidah Nusantara, mereka tetap akan bertemu dengan hidangan lokal yang menjadi ciri khas Arab Saudi. Aroma rempah yang kuat, penggunaan bahan-bahan tertentu, serta cara penyajian yang berbeda akan menjadi pengalaman baru bagi lidah mereka.
Di antara hidangan ikonik di Saudi Arabia, Nasi Kebuli adalah salah satu yang paling terkenal. Nasi Kebuli adalah nasi yang dimasak dengan kaldu daging kambing atau ayam, minyak samin, dan rempah-rempah khas Timur Tengah seperti jintan, ketumbar, kapulaga, kayu manis, dan cengkeh. Disajikan dengan potongan daging yang empuk, Nasi Kebuli merepresentasikan kekayaan rempah Arab dan menjadi hidangan utama yang sering dijumpai di berbagai kesempatan.
Kontras antara Nasi Liwet dan Nasi Kebuli ini bukan sekadar perbedaan rasa. Ia melambangkan transisi dari kebiasaan makan yang akrab, mungkin komunal dan santai seperti menikmati Nasi Liwet bersama, menuju pengalaman makan yang berbeda, baik dari segi rasa, tekstur, maupun waktu dan cara penyajian yang mungkin lebih formal atau berbeda dari kebiasaan di rumah.
Tanpa persiapan, perbedaan budaya pangan ini bisa menimbulkan berbagai tantangan. Jemaah mungkin merasa kurang cocok dengan rasa masakan katering, kesulitan mencari makanan yang sesuai selera di luar, mengalami masalah pencernaan akibat perubahan pola makan, atau bingung dengan jadwal makan yang berbeda dari kebiasaan di Tanah Air. Semua ini, jika tidak diantisipasi, bisa mengganggu kesehatan dan konsentrasi jemaah dalam beribadah.