Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sudahkah Sekolah Kita Mendidik Sepenuh Hati?

23 April 2025   01:03 Diperbarui: 23 April 2025   01:03 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat jam istirahat, Guru SD Plus Al Ghifari Kota Bandung meluangkan waktu untuk bermain bersama siswa-siswanya. | Dok. Pribadi/Jujun Junaedi

Pendidikan adalah fondasi sebuah bangsa. Di pundaknyalah masa depan digantungkan, peradaban dibangun, dan karakter generasi dibentuk. Sekolah, sebagai institusi formal pendidikan, memegang peranan sentral dalam proses ini. Kita mengirim anak-anak kita ke sekolah dengan harapan mereka akan menimba ilmu, mengasah keterampilan, dan pada akhirnya, menjadi individu yang cerdas serta siap menghadapi tantangan zaman. Namun, sudahkah sekolah kita menjalankan amanah pendidikan ini dengan "sepenuh hati"?

Selama ini, seringkali fokus utama pendidikan di sekolah adalah pencapaian akademis. Kurikulum yang padat, target nilai yang tinggi, dan persaingan antar siswa seolah menjadi tolok ukur keberhasilan utama. Guru-guru berlomba menyelesaikan materi, siswa dijejali berbagai rumus dan teori, dan orang tua pun bangga ketika anak mereka meraih peringkat tinggi di kelas. Lingkaran ini terus berputar, kadang melupakan esensi terdalam dari apa arti sebuah pendidikan yang utuh.

Padahal, sekolah seharusnya tidak hanya menjadi tempat transfer ilmu pengetahuan. Sekolah adalah miniatur masyarakat, tempat anak-anak belajar berinteraksi, memahami perbedaan, menyelesaikan konflik, dan membangun empati. Di sinilah seharusnya karakter mereka dibentuk, nilai-nilai luhur ditanamkan, dan adab serta perilaku baik dibiasakan. Pertanyaannya kembali mengemuka, sudahkah proses ini berjalan "sepenuh hati"?

Mendidik "sepenuh hati" melampaui sekadar mengajar mata pelajaran. Ini tentang kehadiran jiwa dalam setiap interaksi, tentang kepedulian tulus terhadap perkembangan setiap anak, bukan hanya sebagai siswa dalam deretan angka, melainkan sebagai individu unik dengan potensi dan pergulatan batinnya sendiri. Mendidik sepenuh hati adalah tentang melihat lebih dari sekadar hasil ujian.

Ia mencakup kesediaan guru untuk mendengarkan, memahami kesulitan siswa di luar konteks pelajaran, dan memberikan dukungan moral. Ini adalah tentang menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman, di mana siswa merasa dihargai, berani berekspresi, dan tidak takut membuat kesalahan dalam proses belajar dan berkembang, termasuk dalam berprilaku.

Peran guru dalam "mendidik sepenuh hati" sangatlah krusial. Guru bukan hanya penyampai materi, tetapi juga teladan. Setiap kata, setiap tindakan, setiap sikap guru di hadapan siswa akan terekam dan menjadi contoh. Guru yang mendidik sepenuh hati akan menunjukkan integritas, kesabaran, kasih sayang, dan profesionalisme yang menginspirasi siswa untuk meneladani nilai-nilai baik tersebut.

Guru seperti ini tidak hanya datang ke kelas, mengajar, lalu pulang. Mereka hadir sepenuhnya, dengan perhatian yang terbagi rata, berusaha mengenali kekuatan dan kelemahan setiap muridnya. Mereka melihat potensi di balik kenakalan, memahami alasan di balik kemurungan, dan merayakan setiap langkah kecil kemajuan, baik dalam akademis maupun dalam pembentukan karakter.

Menciptakan atmosfer sekolah yang "mendidik sepenuh hati" juga melibatkan semua elemen sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah yang visioner dan berpihak pada pembentukan karakter, staf administrasi yang ramah dan suportif, serta sesama siswa yang saling menghargai, semuanya berkontribusi pada terciptanya lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya adab dan perilaku mulia.

Program-program sekolah juga perlu dirancang untuk mendukung pendidikan karakter ini. Kegiatan ekstrakurikuler yang menumbuhkan kerja sama dan kepemimpinan, peringatan hari besar yang sarat makna moral, hingga rutinitas harian seperti berdoa bersama, antre, dan menjaga kebersihan, semuanya adalah media efektif untuk menanamkan nilai. Namun, semua ini akan hampa jika tidak dijiwai semangat "sepenuh hati".

Integrasi pendidikan karakter ke dalam setiap mata pelajaran pun menjadi kunci. Guru fisika bisa mengajarkan kejujuran melalui data percobaan yang akurat, guru bahasa Indonesia bisa menanamkan empati melalui apresiasi sastra, dan guru olahraga bisa melatih sportivitas. Adab dan perilaku baik bukanlah mata pelajaran terpisah yang hanya diajarkan di jam tertentu, melainkan ruh yang meresapi seluruh proses pembelajaran.

Sayangnya, ada banyak tantangan yang dihadapi sekolah dalam menjalankan misi "mendidik sepenuh hati" ini. Beban administrasi yang menumpuk seringkali menguras energi guru, target kurikulum yang ambisius kadang memaksa guru untuk kejar tayang materi, dan ekspektasi masyarakat yang berlebihan terhadap hasil akademis bisa menggeser prioritas dari pembentukan karakter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun