Keputusan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti untuk meniadakan penggunaan nilai rapor sebagai salah satu kriteria utama dalam seleksi Jalur Prestasi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025 telah memicu gelombang diskusi dan kontroversi di kalangan pendidik, siswa, orang tua, serta pengamat pendidikan.Â
Pengumuman pada Jumat, 11 April 2025, yang menyatakan bahwa Tes Kemampuan Akademik (TKA) akan menjadi instrumen pengganti rapor dalam menjaring calon siswa berprestasi, sontak menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai arah kebijakan pendidikan dan peran guru dalam sistem penilaian.Â
Langkah ini, yang secara implisit mempertanyakan validitas nilai rapor yang selama ini menjadi tolok ukur prestasi akademik, membuka lebar perdebatan tentang objektivitas penilaian, kepercayaan terhadap profesionalisme guru, dan masa depan mekanisme seleksi siswa berprestasi.
Alasan utama di balik kebijakan kontroversial ini, sebagaimana diungkapkan oleh Mendikdasmen Abdul Mu'ti, adalah dugaan maraknya praktik "mark-up nilai" atau pemberian nilai yang tidak sesuai dengan kemampuan riil siswa oleh sebagian guru.Â
Pernyataan yang menyebutkan adanya "sedekah nilai" karena kebaikan hati guru ini secara langsung menyoroti persoalan integritas dan objektivitas dalam sistem penilaian di tingkat sekolah. Tuduhan ini tidak hanya meresahkan para pendidik yang merasa profesi dan upaya mereka tidak dihargai.Â
Namun, juga menimbulkan keraguan terhadap kredibilitas rapor sebagai representasi autentik dari capaian belajar siswa selama bertahun-tahun. Implikasi dari pernyataan ini sangat luas, menyentuh esensi dari bagaimana prestasi siswa diukur dan dihargai dalam sistem pendidikan nasional.
Reaksi terhadap kebijakan ini pun beragam, namun mayoritas menunjukkan kekecewaan dan keprihatinan, terutama dari kalangan guru dan organisasi profesi pendidik.Â
Pernyataan Mendikdasmen Abdul Mu'ti dianggap sebagai bentuk ketidakpercayaan negara terhadap integritas para pendidik, sebuah pukulan telak bagi moral dan semangat kerja guru yang selama ini berdedikasi dalam mendidik dan mengevaluasi siswa.Â
Lebih lanjut, kebijakan ini dinilai mengabaikan sistem penilaian komprehensif yang telah dibangun di sekolah, yang melibatkan berbagai aspek penilaian selain ujian tertulis, termasuk tugas, partisipasi, dan proyek.Â
Pertanyaan besar yang muncul adalah, jika rapor yang merupakan hasil kerja keras guru selama bertahun-tahun dianggap tidak valid, lalu di mana posisi dan peran guru dalam menentukan kualitas dan prestasi siswa ke depan?
Latar Belakang Kebijakan Penghapusan Rapor dalam Jalur Prestasi SPMB 2025