Lentera pendidikan di negeri ini seolah tak pernah benar-benar berpijak pada satu titik yang ajek. Setiap kali tampuk kepemimpinan di kementerian yang menaunginya berganti, harapan akan hadirnya angin segar dan inovasi baru selalu membumbung.Â
Namun, ironisnya, perubahan yang kerap kali terjadi justru menimbulkan riak ketidakpastian, bahkan tak jarang, gelombang kebingungan yang menerjang para pelaku utama pendidikan seperti anak-anak, guru, dan orang tua.Â
Mereka, yang seharusnya menjadi fokus utama dari setiap kebijakan, justru acap kali terperangkap dalam pusaran eksperimen sistem yang terasa begitu rapuh dan tidak konsisten.
Sejarah kebijakan pendidikan kita mencatat berbagai macam perubahan, layaknya sebuah perjalanan panjang yang penuh liku dan persimpangan. Kurikulum silih berganti, membawa serta filosofi dan pendekatan yang berbeda-beda.Â
Adaptasi menjadi kata kunci bagi para pendidik dan peserta didik, sebuah tuntutan yang terkadang terasa memberatkan di tengah dinamika belajar mengajar yang seharusnya berjalan stabil dan progresif.Â
Namun, kali ini, sorotan tertuju pada sebuah fenomena yang cukup menarik perhatian yakni kembalinya sistem penjurusan di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).
IPA, IPS, dan Bahasa. Tiga pilar penjurusan yang sempat dianggap membatasi ruang gerak dan minat siswa, hingga akhirnya dihapuskan dengan harapan memberikan keleluasaan dalam memilih mata pelajaran sesuai dengan potensi dan ketertarikan.Â
Namun, roda kebijakan kembali berputar. Di tengah hingar bingar implementasi Kurikulum Merdeka yang belum sepenuhnya terevaluasi secara komprehensif, wacana dan bahkan sinyal kuat untuk menghidupkan kembali sistem penjurusan justru semakin menguat.Â
Sebuah pertanyaan besar pun menyeruak, apakah langkah ini merupakan sebuah kebijaksanaan yang matang dan terukur, atau justru sebuah keputusan terburu-buru yang berpotensi mengorbankan kemajuan yang telah dirintis?
Kurikulum Merdeka, dengan semangatnya untuk memberikan kebebasan kepada siswa dalam belajar dan mengembangkan potensi diri, baru saja mulai diimplementasikan di berbagai sekolah di seluruh penjuru negeri.Â
Filosofi utamanya adalah memberikan ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka tanpa terkotak-kotak dalam batasan penjurusan yang rigit sejak awal.Â