Di tengah riuhnya perbincangan mengenai perang dagang yang kian memanas, sebuah suara sederhana namun penuh makna terlontar dari seorang petani di pelosok Jawa Barat.Â
Sobari (53), seorang penggarap lahan di Kampung Cimuncang, Desa Rancabango, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, dengan lugas menyampaikan pandangannya.Â
Baginya, jawaban atas gejolak ekonomi global, khususnya bagi masyarakat akar rumput seperti dirinya, terletak pada satu kata yakni bertani.
Ungkapan polos namun mendalam ini muncul saat ditanya mengenai dampak perang dagang antara dua kekuatan ekonomi dunia, Amerika Serikat dan China, yang saling memberlakukan tarif impor.Â
Bagi Sobari, isu-isu ekonomi makro yang kompleks tersebut dapat disederhanakan menjadi sebuah aksi nyata di tingkat lokal. Kuncinya, menurutnya, adalah kemandirian dalam memenuhi kebutuhan dasar, dan pertanian adalah jalannya.
"Jangan ragu bertani untuk bertahan dalam masalah ekonomi," ujarnya dengan keyakinan saat ditemui pada hari Ahad, 13 April 2025.Â
Kata-kata ini bukan sekadar imbauan, melainkan sebuah cerminan dari pengalaman hidupnya sebagai seorang petani yang telah merasakan langsung bagaimana bercocok tanam mampu menjadi sandaran di tengah berbagai tantangan.
Selama ini, Sobari tidak hanya mengandalkan padi sebagai satu-satunya komoditas pertaniannya. Dengan kearifan lokal dan semangat untuk terus berinovasi, ia juga menanam berbagai jenis sayuran seperti sosin, seledri, dan bayam.Â
Diversifikasi tanaman ini bukan hanya menjaga kesuburan lahan, tetapi juga memberikan sumber pendapatan yang beragam bagi keluarganya.
Pandangan Sobari ini seolah menjadi oase di tengah gurun kekhawatiran akan dampak perang dagang.Â
Di saat para ekonom dan politisi berdebat mengenai strategi dan kebijakan, seorang petani sederhana memberikan solusi yang mendasar namun esensial yaitu kembali ke tanah, mengolahnya dengan sungguh-sungguh, dan membangun kemandirian pangan dari tingkat individu dan komunitas.