Mentari siang pada hari Senin, 7 April 2025, menyinari ruas Jalan Kadungora, sebuah arteri penting yang membelah Kabupaten Garut. Namun, suasana yang kami saksikan kali ini terasa berbeda, bahkan jika dibandingkan dengan hiruk pikuk pasca perayaan Idul Fitri yang baru saja berlalu.Â
Jalan Kadungora, yang membentang hingga mencapai kawasan Leles, memang sudah dikenal akrab dengan kepadatan lalu lintas. Apalagi di tengah gelombang arus balik yang mengalir deras dari arah Garut menuju Bandung dan Jakarta, kemacetan menjadi pemandangan yang tak terhindarkan.
Di tengah barisan kendaraan yang bergerak merayap bagai siput, sebuah pemandangan yang tak lazim dan menyentuh hati tiba-tiba menarik perhatian kami. Beberapa penjual kaki lima dengan gerobak-gerobak sederhana mereka, yang menjajakan aneka kuliner dan minuman khas Priangan.
Seperti penjual cilok dengan bumbu kacangnya yang gurih, manisan buah yang segar dan berwarna-warni, air mineral pelepas dahaga, goyobod yang lembut dan manis, es cincau dan es cendol yang dingin menyegarkan, hingga kue burayot yang legit dan unik, tampak berkolaborasi dengan warga sekitar.
Sebuah inisiatif yang luar biasa indah terhampar di depan mata. Para penjual ini tidak hanya beroperasi sendiri di tepi jalan, menunggu pelanggan datang. Mereka justru merangkul penduduk setempat, memberikan kesempatan kepada para warga untuk turut serta menawarkan dagangannya.
Mereka menawarkan dagangan kepada para pengguna jalan yang terjebak dalam antrean panjang kendaraan roda empat maupun roda dua. Sebuah pemandangan yang jarang ditemui, di mana semangat berbagi dan gotong royong tumbuh subur di tengah potensi frustrasi akibat kemacetan.
Kami menyaksikan dengan kagum bagaimana para penjual dengan cekatan dan sigap mengemas setiap pesanan makanan dan minuman yang diterima. Sementara itu, para warga yang dengan sukarela turut berjualan, bergerak lincah menghampiri setiap kendaraan yang berhenti atau bergerak perlahan.Â
Mereka menawarkan dagangan dengan ramah, menjajakan berbagai pilihan kuliner dan minuman yang bisa menjadi penawar lapar dan dahaga di tengah perjalanan yang melelahkan baik dari arah Garut ke Bandung atau sebaliknya.
Sebuah sinergi yang harmonis tercipta di sana. Para penjual kaki lima seolah membuka pintu rezeki bagi para warga sekitar, memberikan mereka peran aktif dalam dinamika ekonomi yang sedang berlangsung.Â
Para warga pun tampak antusias dan bersemangat menjalankan tugas mereka, memanfaatkan peluang ini untuk mendapatkan penghasilan tambahan di tengah hiruk pikuk arus balik yang melanda.
Pemandangan ini memancarkan kebahagiaan yang tulus dari semua pihak yang terlibat. Para penjual kaki lima tentu merasa terbantu dengan adanya tambahan tenaga penjualan, yang memungkinkan mereka menjangkau lebih banyak pelanggan tanpa harus meninggalkan gerobak dan potensi kehilangan pembeli.Â