Di era globalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat, pendidikan tinggi dianggap sebagai kunci utama untuk meraih kesuksesan karier dan kesejahteraan hidup. Namun, fenomena "inflasi gelar" telah menimbulkan pertanyaan serius tentang relevansi dan efektivitas pendidikan tinggi dalam mempersiapkan lulusan untuk dunia kerja.
Apa itu Inflasi Gelar?
Inflasi gelar, sederhananya, adalah fenomena di mana nilai sebuah gelar pendidikan tinggi menurun seiring dengan meningkatnya jumlah orang yang memilikinya. Ibarat uang yang terlalu banyak beredar, nilai gelar pun tergerus.Â
Dulu, gelar sarjana merupakan keunggulan kompetitif, kini menjadi standar minimum yang seringkali tak menjamin pekerjaan layak. Hal ini terjadi karena akses pendidikan tinggi semakin mudah, baik melalui perguruan tinggi konvensional maupun program daring, sehingga jumlah lulusan terus membludak.
Penyebab utama inflasi gelar adalah ketidakseimbangan antara jumlah lulusan dan kebutuhan pasar kerja. Kurikulum yang kurang relevan, kurangnya keterampilan praktis yang dibutuhkan industri, dan kurangnya informasi pasar kerja bagi mahasiswa memperparah masalah ini.Â
Perusahaan pun cenderung meningkatkan persyaratan gelar, bahkan untuk posisi yang sebelumnya tidak memerlukan sarjana, sehingga menciptakan lingkaran setan yang semakin menekan lulusan untuk mengejar gelar tinggi.
Dampak inflasi gelar sangat merugikan. Pengangguran terdidik meningkat, nilai gelar sarjana merosot, kesenjangan keterampilan antara lulusan dan kebutuhan industri semakin lebar, dan banyak lulusan terpaksa bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan kualifikasi mereka.Â
Fenomena ini bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah ekonomi dan sosial yang perlu segera diatasi dengan reformasi sistem pendidikan dan kolaborasi erat antara dunia pendidikan dan industri.
Faktor-faktor Penyebab Inflasi Gelar
1. Akses Pendidikan Tinggi yang Semakin Mudah
Peningkatan akses pendidikan tinggi secara global telah menjadi fenomena yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir.Â