Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Realitas Cancel Culture di Indonesia: Antara Norma, Ekspresi Publik, atau Multivokalitas

14 Februari 2025   15:20 Diperbarui: 14 Februari 2025   15:20 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Realitas cancel culture di Indonesia. | Image by iStockphoto/tumsasedgars via Kompas.com

Cancel culture, sebuah fenomena sosial di mana seseorang atau entitas ditarik dari lingkaran sosial atau profesional karena tindakan atau ucapan yang dianggap tidak pantas, telah menjadi topik hangat di Indonesia. Fenomena ini memicu perdebatan sengit mengenai batasan antara kebebasan berekspresi, tanggung jawab publik, dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Cancel Culture dan Norma-Norma Masyarakat

Cancel culture, sebuah fenomena sosial yang kompleks, tidak dapat dipisahkan dari norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma-norma ini menjadi landasan bagi penilaian publik terhadap tindakan atau ucapan seseorang, kelompok, atau entitas bisnis. 

Ketika tindakan atau ucapan tersebut dianggap melanggar norma-norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, maka mekanisme cancel culture dapat diaktifkan. Tujuannya adalah untuk memberikan sanksi sosial kepada pelaku pelanggaran, dengan harapan dapat menimbulkan efek jera dan mencegah terulangnya perbuatan serupa di kemudian hari.

Namun, cancel culture juga menyimpan potensi masalah yang serius. Batasan antara pelanggaran norma yang jelas dengan perbedaan pendapat yang masih dapat ditoleransi seringkali kabur. Akibatnya, seseorang atau kelompok dapat menjadi sasaran cancel culture meskipun sebenarnya tidak melakukan pelanggaran yang berarti. 

Lebih jauh lagi, cancel culture dapat berkembang menjadi persekusi dan perundungan daring yang tidak terkendali. Hal ini dapat mengakibatkan dampak psikologis yang mendalam bagi korban, bahkan hingga mengancam kesehatan mental mereka.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memiliki pemahaman yang bijak dan proporsional terhadap cancel culture. Di satu sisi, kita tidak boleh mentolerir tindakan atau ucapan yang jelas-jelas melanggar norma-norma kemanusiaan, seperti rasisme, diskriminasi, atau ujaran kebencian. 

Namun di sisi lain, kita juga harus menghindarkan diri dari penghakiman yang terburu-buru dan tidak memberikan ruang bagi pelaku untuk memperbaiki diri. Cancel culture yang sehat adalah yang didasarkan pada dialog yang konstruktif dan bertujuan untuk memperbaiki kesalahan, bukan semata-mata untuk menghukum dan mengucilkan.

Cancel Culture sebagai Ekspresi Publik

Cancel culture, sebagai sebuah fenomena sosial yang marak di era digital, seringkali dipandang sebagai bentuk ekspresi publik. Masyarakat, khususnya netizen, menggunakan platform media sosial untuk menyampaikan ketidakpuasan, kritik, atau bahkan kemarahan terhadap tindakan atau ucapan seseorang, kelompok, atau merek tertentu yang dianggap melanggar norma, etika, atau nilai-nilai yang mereka anut. 

Ekspresi ini bisa berupa ajakan untuk memboikot produk, petisi daring, atau seruan untuk "membatalkan" (cancel) individu atau entitas yang bersangkutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun