Hari raya, terkhusus lebaran (idul fitri) momen yang dinanti-nantikan, identik dengan tradisi dan perayaan. Salah satu tradisi yang tak terpisahkan adalah berbelanja. Namun, di balik semaraknya hari raya, seringkali kita terjebak dalam pusaran konsumerisme yang tak terkendali. Tanpa disadari, kebiasaan berbelanja sebelum hari raya dapat menggerogoti keuangan kita, bahkan meninggalkan utang yang menumpuk.
Tradisi dan Tantangan Konsumerisme
Berbelanja sebelum hari raya telah menjadi bagian dari tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Momen ini tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan materi, tetapi juga memiliki nilai simbolis yang mendalam. Masyarakat Indonesia, dengan kekayaan budayanya, memiliki cara unik dalam merayakan hari raya, dan tradisi berbelanja menjadi salah satu ekspresi kegembiraan serta persiapan menyambut hari kemenangan.
Namun, di era modern ini, tradisi berbelanja sebelum hari raya sering bertabrakan dengan tantangan konsumerisme yang semakin kuat. Konsumerisme, sebagai sebuah gaya hidup yang menekankan pada konsumsi barang dan jasa secara berlebihan, dapat dengan mudah mempengaruhi perilaku masyarakat dalam berbelanja. Godaan diskon besar-besaran, promosi menarik, dan tren terbaru sering membuat orang kehilangan kendali diri dan berbelanja di luar kemampuan finansial mereka.
Tantangan konsumerisme ini semakin kompleks dengan adanya platform e-commerce yang menawarkan kemudahan dan bermacam-macam pilihan barang. Kemudahan berbelanja secara on line, ditambah dengan promo-promo menarik, dapat memicu impulse buying atau pembelian impulsif. Kondisi ini diperparah dengan adanya media sosial yang menampilkan gaya hidup mewah dan konsumtif, sehingga memicu perasaan perbandingan diri dengan orang lain dan keinginan untuk memiliki barang-barang bermerek.
Di samping itu, tradisi memberikan hadiah atau bingkisan kepada keluarga dan kerabat juga menjadi bagian penting dari perayaan hari raya. Namun, tradisi ini sering berubah menjadi ajang untuk saling berlomba memberikan hadiah yang mewah dan mahal, sehingga memicu siklus konsumerisme yang tak berujung. Masyarakat sering merasa tertekan untuk mengikuti tren dan standar yang ada, sehingga mengabaikan esensi dari tradisi itu sendiri, yaitu berbagi kebahagiaan dan mempererat tali silaturahmi.
Dalam menghadapi tantangan konsumerisme ini, penting bagi masyarakat untuk memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya pengelolaan keuangan yang bijak. Tradisi berbelanja sebelum hari raya seharusnya tidak menjadi beban finansial yang berlebihan. Masyarakat perlu membedakan antara kebutuhan dan keinginan, serta membuat keputusan yang rasional dalam berbelanja. Dengan demikian, tradisi berbelanja sebelum hari raya dapat tetap menjadi bagian dari perayaan yang menyenangkan tanpa mengorbankan stabilitas keuangan jangka panjang.
Membangun Resiliensi Keuangan
Membangun resiliensi keuangan bukan hanya tentang menahan diri dari godaan diskon atau promosi menarik, tetapi juga tentang memiliki pemahaman yang mendalam tentang nilai uang dan bagaimana mengelolanya secara efektif. Proses ini melibatkan perencanaan yang matang, disiplin diri yang kuat, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan kondisi ekonomi.Â
Resiliensi keuangan juga mencakup kemampuan untuk mengidentifikasi dan menghindari risiko keuangan, serta memiliki sumber daya yang cukup untuk menghadapi situasi darurat. Lebih dari sekadar tips dan trik, membangun resiliensi keuangan adalah tentang mengubah pola pikir dan perilaku kita terhadap uang. Ini adalah perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen dan kesabaran, tetapi hasilnya akan sangat berharga, yaitu ketenangan pikiran dan kebebasan finansial.
Dalam konteks belanja sebelum hari raya, resiliensi keuangan memungkinkan kita untuk tetap merayakan tradisi dengan sukacita tanpa terbebani masalah keuangan. Kita bisa memberikan yang terbaik untuk keluarga dan orang-orang terdekat tanpa harus mengorbankan stabilitas finansial jangka panjang. Ini berarti membuat pilihan yang bijak, memprioritaskan kebutuhan di atas keinginan, dan tidak terjebak dalam siklus konsumerisme yang merugikan.Â