Mohon tunggu...
jufriyanto
jufriyanto Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mas Juff

Tajam Berpikir Lembut Berdzikir

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kritik Konstruktif Apresiatif Aksin Wijaya terhadap Aliran Islam di Indonesia

16 Februari 2022   22:30 Diperbarui: 16 Februari 2022   22:37 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ingin memulai tulisan ini dengan pemahaman mendasar tentang Islam. Islam adalah agama yang tunggal dan universal. Karena berasal dari Tuhan Yang Maha Tunggal (Esa), dan karenanya disebut sebagai ajaran yang paling ideal. Disisi lain bersifat universal karena dirancang untuk seluruh umat manusia, hal ini melahirkan interpretasi dan kebenaran yang beragam dari setiap konsep berdasarkan sumber pedoman hidup yang dikenal sebagai Al-Qur'an. Tujuan utama keberadaan Islam adalah untuk menyebarkan kasih sayang ke seluruh alam jagat raya, yang disebut Al-Qur'an sebagai "Rahmatan Lil Alamin," menunjukkan bahwa misi ajaran Islam disajikan kepada seluruh umat manusia di alam semesta ini.

Namun, karena Al-Qur'an merupakan sumber Islam yang kaya akan makna, maka pandangan umat Islam terhadap agama Islam tidak sama dan tidak harus sama. Selain kompleksitas makna, variasi interpretasi diciptakan oleh masing-masing penafsir yang membawa pesan sejarahnya sendiri. Demikian pula dalam menerjemahkannya ke dalam praktik budaya penafsir saat masih hidup. Beberapa kelompok menganggap Islam sebagai agama teosentris dan purifikativ. Disebut "teosentris" karena mereka memahami bahwa Islam adalah tentang Tuhan, bahwa ia lahir dari Tuhan, dan  ia dilahirkan untuk melindungi Tuhan.

Disebut "purifikativ" karena budaya atau peradaban yang anti agama harus dimusnahkan dari muka bumi dan diganti dengan ajaran agama. Sebagian orang menganggap Islam sebagai agama yang antroposentris dan dialogis. Karena poin penting tentang agama adalah kemanusiaan, maka Allah  menganugerahkannya untuk kepentingan hak asasi manusia. Akibatnya, agama ada untuk melindungi umat manusia. dan  agama sejatinya berdialektika dengan budaya, yang merupakan konstruksi kreasi manusia.

Islam sendiri menunjukkan semangat komunikasi antara Islam dan budaya pada awal keberadaannya. Islam adalah anugerah dari Allah. Dia, di sisi lain, ada untuk kebaikan umat manusia. Karena manusia adalah pencipta budaya, maka Islam harus berdialektika dengan kebudayaan manusia. Karena Al-Qur'an sebagai sumber utama dalam Islam  menggunakan bahasa lokal tempat asalnya, yaitu bahasa Arab. Dengan ini  telah memberikan contoh akan dialektika Al-Qura'an dengan Budaya. Demikian pula konsep-konsep yang disajikan dalam Al-Qur'an merupakan pokok bahasan yang sering dibahas oleh masyarakat Arab sebagai audien awal. Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika Al-Qur'an sebagai sumber utama Islam berdialog dengan budaya atau peradaban dunia, termasuk peradaban nusantara. Inilah semangat yang dibawa dalam beberapa tulisannya  Prof. Dr. Aksin Wijaya yang sering saya panggil Mas Aksin.

Mas Aksin kerap mengkritisi berbagai aliran pemikiran yang berkembang pesat di Indonesia, yang kemudian ia kelompokkan menjadi tiga aliran pemikiran, padahal ketiga aliran pemikiran tersebut terkadang tidak bersifat ilmiah. Pertama, aliran eksklusif yang relatif sedikitl dalam hal kuantitas, tetapi sangat provokatif. Kedua, aliran tradisionalis yang menjadi arus utama peradaban Islam Indonesia dan moderator dalam pergumulan Islam di Indonesia. Ketiga, aliran Islam liberal yang tampak sebagai anak tiri peradaban Islam di Indonesia, namun dalam pemikirannya bersifat manusiawi, plural, toleran, dan inklusif.

Sikap kritisnya terpancar dalam banyak tulisannya, dan kritiknya selalu kontruktif  dan apresiatif. Mas Aksin, melalui konstruksi epistemologi keraguan metodologis al-Ghazali dan Rene Descartes, serta paradigma epistemologi antroposentris, tidak hanya mengkritik mazhab yang berafiliasi dengan dunia Barat dan Arab, tetapi MUI yang merupakan salah satu lembaga keagamaan yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan fatwa tidak luput dari kritikannya demi menjaga pluralitas Islam di Indonesia. Tanpa merasa khawatir dengan resiko yang akan dihadapinya.

Guru Besar Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir ini mengkritisi penalaran konstruktif MUI dan perbedaan fatwanya, yang tentu saja didukung dengan bukti, referensi, dan argumentasi yang baik. Sebab, menurutnya, banyak fatwa MUI yang melegitimasi kekerasan atas nama Tuhan dan Agama, padahal keduanya menginginkan kehidupan ini berjalan damai dan harmoni.

Tidak hanya itu, Mas Aksin menghubungkan pemikirannya dengan isu-isu yang mendunia. Hal ini tampak signifikan karena dunia saat ini tidak lagi terikat oleh ruang dan waktu. Tidak ada namanya manusia yang hidup hanya di satu ruang dan waktu. Orang-orang dari berbagai negara, agama, dan ras dapat hidup berdampingan di lokasi dan waktu yang sama. Dalam keadaan seperti itu, muncullah apa yang disebut dengan multikulturalisme. Konflik antar individu atau masyarakat tidak dapat dihindari. Ketegangan muncul ketika mereka membawa ego identitas mereka sendiri. Mas Aksin menyampaikan pandangannya mengenai bagaimana sebenarnya mencegah konflik di era ini dengan memahami situasi multikulturalisme. Setiap individu atau kelompok harus  menyadari bahwa mereka hidup di era multikultural, dan mereka harus saling menurunkan ego sembari mengedepankan sikap toleransi dan humanisme.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun