Mohon tunggu...
jufriyanto
jufriyanto Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mas Juff

Tajam Berpikir Lembut Berdzikir

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menjernihkan Kembali Peran Ganda dan Gaya Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi

24 Januari 2022   07:00 Diperbarui: 24 Januari 2022   07:02 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Diskursus tentang perempuan merupakan perdebatan lama yang sedang aktif diperdebatkan hingga saat ini, terutama ketika problematika terhadap perempuan menarik perhatian para ilmuwan barat, yang kemudian dirangkum dalam sebuah gerakan feminis. Gerakan ini bekerja untuk menegakkan hak asasi manusia, termasuk diskriminasi terhadap perempuan. Artinya, perempuan tidak hanya bergerak di antara sumur kasur dan dapur, tetapi juga bebas melakukan peran yang sama di depan umum seperti laki-laki. Perempuan bukan lagi sekadar objek pasif yang kerap dijadikan instrumen kenikmatan laki-laki; mereka juga individu yang memiliki hak untuk mengendalikan hidup mereka sendiri.

Kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga menunjukkan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, perempuan bertanggung jawab untuk tugas-tugas rumah dan laki-laki yang bekerja untuk mencari nafkah. Pekerja rumah tangga tidak diakui sebagai suatu pekerjaan karena mereka tidak mencari nafkah, dan akibatnya perempuan tidak dianggap bekerja. Ketika stigma pekerjaan rumah tangga dihilangkan sebagai suatu pekerjaan, ada keinginan kuat bagi perempuan untuk mencari pekerjaan selain menjadi ibu rumah tangga dengan dalih berkontribusi pada ekonomi keluarga. Di sinilah perempuan pada akhirnya akan memiliki pekerjaan selain di rumah, terutama jika mereka menjadi pejabat publik.

Kecenderungan untuk bekerja di luar rumah tentu akan membawa akibat serta berbagai implikasi sosial, seperti meningkatnya kenakalan remaja akibat kurangnya perhatian orang tua dan melemahnya nilai-nilai ikatan perkawinan/keluarga. Hal ini lebih sering dikaitkan dengan peningkatan jumlah ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah, terutama di wilayah kota metropolitan. Jika ibu rumah tangga bekerja di luar rumah untuk waktu yang lama, situasinya akan menjadi lebih bermasalah. Dengan kata lain, perempuan yang sudah menyandang status sebagai ibu rumah tangga harus tinggal di kota lain dan jauh dari keluarga dalam waktu yang lama, yang menyiratkan bahwa frekuensi pertemuan dengan keluarga akan sangat berkurang, yang mempengaruhi keharmonisan rumah tangga secara langsung maupun tidak langsung. Dalam sistem sosial budaya Indonesia, perempuan bertanggung jawab atas kelancaran dan keamanan rumah tangga, sedangkan peran laki-laki lebih erat kaitannya dengan peningkatan pendapatan rumah tangga.

Saat ini, ada banyak perempuan yang telah bekerja di perusahaan dan lembaga pemerintah. Ratusan juta anak terpaksa mengubah jadwal pengasuhan mereka kepada ibunya sendiri akibat dari keberhasilan perempuan dalam pekerjaan publik. Seorang anak seharusnya ingin digendong oleh ibunya sejak kecil, tetapi mereka dipaksa untuk menikmati kasih sayang dari seorang pembantu atau pengasuh yang tidak selalu jujur dalam mengasuh dan mencintai mereka, dan terkadang secara eksplisit menyerahkan pengasuhan anak-anak mereka kepada pengasuh atau pembantu walaupun dia berada dirumah tersebut sepanjang malam. Anak itu dititipkan ke pengasuh dengan alasan kelelahan. Seandainya sie anak mengetahui bahwa ibunya menolak untuk mengganti popoknya atau memberikan ASI, bagaimana reaksinya? Hal ini, tanpa diragukan lagi, menyakitkan.

Tidak sampai disitu saja; ketika perempuan bekerja dan menjadi pejabat publik, kesulitan mereka akan semakin berbelit-belit, karena mereka akan ditempatkan di posisi yang didominasi laki-laki. Inilah konsekuensi yang harus ditanggung oleh perempuan yang menjadi pemimpin publik, karena mereka harus mengkaji bagaimana mengelola atau mengatur beberapa tanggung jawab yang mereka emban dalam rumah tangga dan ruang publik, atau yang dikenal dengan peran ganda perempuan. Sehingga, ketika ditangani dengan baik, peran domestik dan sektor publik akan berfungsi sebagaimana mestinya, tanpa ada yang dikorbankan atau disakiti.

Meski demikian, posisi perempuan dalam kepemimpinan seringkali dibenturkan dengan laki-laki. Stigma atau stereotip Perempuan tampak tidak cocok untuk mengambil posisi kekuasaan yang lumrahnya dipegang oleh laki-laki masih berkembang sampai saat ini. Padahal,  Baik laki-laki maupun perempuan memiliki karakteristik maskulin dan feminin, dan karakteristik ini memiliki pengaruh besar pada gaya kepemimpinan yang akan diterapkan oleh setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan. Secara fisik perempuan, namun bukan berarti ia akan memiliki sikap yang sangat feminim ketika ia melatih kepribadian dan karakternya menjadi maskulin seutuhnya. Ketika seorang laki-laki atau perempuan naik ke posisi level tertinggi dam struktur birokrasi, tidak menutup kemungkinan mereka akan memiliki karakteristik atau gaya kepemimpinan yang feminin dan maskulin. Jadi, secara umum gaya kepemimpinan laki-laki tidak harus maskulin, dan gaya kepemimpinan perempuan tidak harus feminim.

Seyogyanya, kepemimpinan perempuan dan laki-laki di era sekarang sangat tidak relevan jika dijadikan suatu kontestasi dan diskriminasi sosial terhadap perempuan yang kurang berperan dalam struktur jabatan publik. Sikap profesionalisme seorang pemimpin laki-laki dan perempuan harus ditunjukkan secara kolaborasi kompetitif dalam bentuk prestasi di suatu birokrasi. dan pada akhirnya, siapapun yang memiliki peran terbaik dalam struktut tersebut harus diakui tanpa harus melihat kembali jenis kelaminnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun