Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merdeka Itu "Move On"

17 Agustus 2020   06:05 Diperbarui: 17 Agustus 2020   06:27 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber megapolitan.kompas.com

Bicara kemerdekaan biar settingannya jadi sedikit drama pake kata di judul aja, move on. Agar tidak selalu terbayang-bayang sama mantan. Seolah jika nggak ada dia, hidup itu tidak punya cerita lagi. Tamat. Padahal kan realitas tidak begitu. Setiap babakan, selalu punya kisah dramanya sendiri. Bisa lebih romantis, tetapi jangan lupa bisa juga lebih sadis.

Pagi tadi nemu fakta di google, bahwa "bagaimana cara move on" pernah menjadi trend kalimat yang  paling sering di cari. Ini bukti bahwa "move on" itu tidak mudah. Para peselancarnya, bahkan perlu bantuan google untuk menyelesaikan persoalan yang mendera.

Sekarang kita bahas soal kemerdekaan. Ini soal politik? Eh, tunggu dulu, jangan lupa satu hal, para pelakunya, itu manusia-manusia juga. Memiliki anugerah lengkap dalam dirinya, hati jiwa dan akal budi. Jadi tidak perlu ada dikotomi. Merdeka dan kemerdekaan, itu harus didekati menggunakan seluruh komponen lengkap yang melekat pada manusia. Termasuk ke soal rasa, ya "move on" itu.

Meski tidak banyak, tulisan ini terpengaruh perasaan kemarin pasca nonton filmnya Reza Rahadian, Toko Barang Mantan. Tetapi sudahlah, tidak perlu dibahas. Kita bahas soal "Move on" saja, sesuai sama konteks judul tulisan. Biar tidak dikira ini klik bait.

Sebagai guru, saya pernah bilang ke anak-anak di kelas, bahwa merdeka itu seperti abege yang beranjak dewasa. Ada masa dimana dia harus bertanggungjawab pada dirinya sendiri. Prosesnya aja yang beda. Tetapi filosofinya, ya itu-itu juga. Intinya berani mengambil peran untuk melakukan apapun yang terbaik bagi dirinya, menggunakan segala potensi daya yang dimiliki. Tidak ada lagi itu campur tangan mama papa.

Indonesia juga begitu. Begitu proklamasi, negara ini sebenarnya sedang mengatakan pada dunia. , Eh gue ini negara merdeka, setara dengan kalian semua. Tidak ada lagi tuh Belanda, Jepang atau negara manapun yang boleh mendikte gue sebagai bangsa dan negara. Sehingga suka atau tidak, seluruh komponen bangsa ini mulai berpikir untuk memikirkan jalannya bernegara dan berbangsa sesuai potensi yang dimiliki.

Tetapi sekali lagi, ini tidak mudah. Bayangkan, dijajah ratusan tahun. Sedikit banyak, penguasaan itu tidak hanya ke soal fisik tetapi juga menghegemoni pikiran. Melahirkan mentalitas sebagai bangsa terjajah.

Paling gampang, ya soal korupsi. Ingatkan VOC pernah bangkrut karena apa? Bayangkan, mengeksploitasi kekayaaan tanah air yang tidak habis sampai hari ini, tetapi bangkrut. Tidak masuk akal, tetapi sejarah mencatatnya sebagai fakta. Itu semua bukan karena kekayaan negeri ini habis, sama sekali bukan. 

Tetapi karena prilaku korup para pejabatnya. Anehnya, mentalitas VOC itu masih menjadi primadona bagi para pemangku kepentingan di negeri ini. Mengaku merdeka, tapi belum move on.  Lagi-lagi, saya bilang ke anak-anak. Warisan penjajah yang paling lestari itu ya itu, mentalitas korup.

Belum lagi ke soal, mentalitas sektarian dan primordial. Sejak SD saya dulu diajari sama bapak ibu guru, kenapa sih kita bisa dijajah, devide et empera, pecah belah. Barangkali kata itu menjadi kata kunci disetiap membahas materi kolonialisme. Puluhan tahun. Tetapi bukannya belajar dari sejarah, warga bangsa ini justru menghidupi prilakunya.

Belanda pernah membagi warga bangsa ini ke dalam tiga golongan kelas. Lantas memberlakukan mereka secara tidak setara dalam berbagai bidang kehidupan. Keberlangsungannya akan menjamin keberlangsungan keberadaan mereka di negeri ini. Setelah merdeka, faktanya kita masih fasih dengan istilah, pribumi dan nonpribumi. Cara pandang Belanda. Belum lagi membangun stereo tipe primordial dan sektarian. Aku, kami ini beda dengan kau, kamu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun