Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika ke Sekolah Menjadi Kebodohan

4 Juni 2020   11:24 Diperbarui: 4 Juni 2020   11:28 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Siswa sekolah dasar di Natuna, Kepulauan Riau, mengenakan masker saat berada di area sekolah mereka, Selasa (4/2/2020). Hampir seluruh warga di Natuna menggunakan masker menyusul keputusan Pemerintah RI untuk menempatkan WNI yang dievakuasi dari Wuhan, China, di pulau tersebut. (AFP/RICKY PRAKOSO)

Belakangan, new normal, menjadi perbincangan hit di banyak kalangan. Mulai dari rapat di istana negara hingga angkringan pinggir jalan gang sempit. Masing-masing memiliki dan membangun tafsirnya sendiri.

Pandemi mengubah banyak hal, dari hal remeh temeh hingga ke soal yang fundamental. Sehingga suka atau tidak, manusia harus mulai menyesuaikan diri. Beradaptasi. Dalam pemahaman Charles Darwin, inilah syarat agar spesies dapat tetap bertahan. Melewati proses seleksi alam. New Normal, yang saya pahami terkait dengan hal tersebut.

Mahluk hidup selain manusia, dalam kajian teori evolusi melakukan mutasi, mengubah diri dalam melakukan adaptasi.

Sementara manusia menggunakan isi kepalanya. Menciptakan alat dan menentukan cara hidup. Membangun kebiasaan yang pada gilirannya dapat membuat manusia dapat terus bertahan melangsungkan kehidupan.

Dari waktu ke waktu, peradaban dan kebudayaan manusia berlangsung dinamis. Kadang bahkan manusia benar-benar meninggalkan cara hidup sebelumnya.

Jika itu tidak memungkinkan lagi, atau menemukan cara hidup yang lebih baik. Itu biasa. Maka, new normal pada kontek ini tentu saja biasa. Bagian dari proses dinamis kita dalam membangun kehidupan.

Beberapa kali saya baca, penguasa memunculkan juga istilah, "berdamai dengan pandemi." Meminta masyarakat mempersiapkan diri hidup "berdampingan" dengan musuh. Karena faktanya, mereka memang tidak mudah dikalahkan.

Caranya, sederhana, hidup dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan. Menurut saya, ini gagasan yang sangat logis dan memang semestinya demikian. Lantas bagaimana penerapannya?

New normal dan mengedepankan protokol kesehatan, bagian dari cara hidup yang berdamai dengan pandemi, adalah satu kesatuan. Ini juga bagian dari proses adaptasi kita saat ini dalam melewati proses seleksi alam.

Jika mahluk lain rela melakukan perubahan dalam dirinya, maka manusia dengan akal budinya juga dipaksa rela mengubah kebiasaan hidupnya. Karena itu adalah harga yang harus dibayar untuk tetap dapat berlangsungnya proses kehidupan. Melanjutkan generasi.

Bagaimana dengan kebiasaan di dunia pendidikan? Karena dunia ini adalah modal utama dalam setiap proses perubahan. Mengelola rasa ingin tahu yang pada akhirnya melahirkan ilmu pengetahuan. Senjata utama dalam menghadapi setiap tantangan yang mengancam kehidupan.

Menurut saya, dunia pendidikan juga harus berbenah. Mengedepankan esensi. Bukan sekedar memenuhi presensi alias kehadiran fisik di sekolah. Meski itu perlu. Terlebih pendidikan juga sudah mengubah banyak hal, termasuk bagaimana cara manusia berinteraksi. Bisa melalui media. Karena pandemi yang juga belum memperlihatkan tanda-tanda berakhir ini masih menghantui setiap proses tatap muka.

Pembelajaran yang mestinya tatap muka di kelas, diubah menjadi pembelajaran tatap muka lewat perangkat.digital, juga bagian dari new normal. Bukan hanya jika datang ke sekolah, pakai masker, cuci tangan dan jaga jarak.  

Pembukaan sekolah agar siswa dapat datang dan belajar di kelas dengan menerapkan protokol kesehatan sepertinya menjadi arus utama dalam memahami new normal. Sementara apa yang kita lakukan saat ini bukan new normal. Menurut saya, kita saat ini juga sedang menjalani kehidupan new normal, bukan sedang bersiap.

Kenapa ini penting? Karena saat ini kita belum dapat menciptakan masyarakat yang disiplin. Harus kita akui. Sementara protokol kesehatan mensyaratkan kedisiplinan. Ambil contoh, banyak media melaporkan bagaimana sulitnya jaga jarak di pasar Tanah Abang beberapa waktu yang lalu.

Atau ketika pembagian bantuan sosial. Sementara mereka itu adalah orang-orang dewasa. Logikanya telah mampu menggunalan nalarnya dengan baik. Tetapi faktanya? Silahkan simpulkan sendiri.

Lantas bagaimana dengan anak-anak sekolah? Mereka dari semua jenjang adalah anak-anak yang memiliki kecenderungan bermain dengan teman sebayanya. Diminta jaga jarak? Siapa yang nanti menjaga? Guru ? Waduh !

Jadi menurut saya, ketika pandemi ini masih menghantui harus sangat berhati-hati dalam mengambil kebijakan terkait proses pendidikan di sekolah. Seperti kata iklan, "buat anak kok coba-coba!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun