Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagi Sembako, Lantas Selfie, Salahnya di Mana?

19 Mei 2020   07:43 Diperbarui: 19 Mei 2020   08:24 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: megapolitan.kompas.com

Pengadilan di dunia maya itu tidak pernah sepi dari perkara. Selalu ada saja terdakwa yang bisa diadili. Mengikutinya, seru-seru lucu. Kadang juga menggemaskan. Bisa bikin Baper, yang berujung pada aksi-aksi sporadis maupun terorganisir. Eksekusinya bisa dari yang paling simpatik, hingga tidak sesuai adab.

Di era pandemi, ada saja oknum yang diadili. Dari pejabat yang plin-plan menjalankan kebijakan. Sampai rakyat jelata yang cuma bisa kasih sampah pada sesamanya. Tidak ada kasta dalam system pengadilannya. Semua di adili atas dasar penggalan-penggalan fakta yang berserakan. Sekali lagi, penggalan fakta.

Tidak utuh, karena proses pengadilan hanya berdasarkan pada satu dua fakta. Apa yang terlihat saat itu, tidak ada penelusuran lebih lanjut. Semua bisa menjadi penuntut,  mencecar terdakwa sebagai pihak yang bersalah tanpa ampun. Tanpa perlu mendengar duduk perkara. Namun bisa juga tiba-tiba semua menjadi hakim. Memvonis. Bukan tidak mungkin pula, tiba-tiba semua menjadi pembela.

Tidak usah heran. Sebagian hanya ingin menjadi bagian dari keriuhan. Mereka sedang tidak menempatkan terdakwa sebagai pencari keadilan. Juga bukan tempatnya bagi pengadilan yang berkeadilan.  Bukan pada terdakwa atau keadilan fokusnya, tetapi pada keriuhan itu sendiri. Begitulah hukumnya.

Revolusi digital. Membuat siapapun memiliki akses pada opini. Semua ingin menjadi pengendali. Bahkan anak kecil sekalipun. Ini berdasarkan fakta juga. Di rumah, anak-anak sering merengek diperbolehkan nonton channel youtube. Meski ada TV. Alasannya, youtube bisa pilih terserah mereka mau nonton apa. Kalau TV terserah TVnya putar apa. Ini juga bagian dari prilaku yang mendominasi masa depan, tidak ingin dikendalikan, semua ingin menjadi pengendali. Termasuk di dunia informasi. Informasi harus menyesuaikan kemauan mereka dan bukan sebaliknya.

Dulu pengusaha media melalui medianya bisa menjadi pengendali. Mem-framing informasi sesuai kepentingannya, meski mengatakan informasinya objektif. Tetapi seringkali, awam tidak menemukan pembanding. Pengusaha Media dan Medianyalah yang dapat menjadi sumber keriuhan. Merekalah pangkal, tetapi juga akhir, karena penentu.

Sementara saat ini, semua bisa membuat medianya sendiri. Saling menggilas, jika diartikan negatif. Saling berbagi jika ingin dipihak positif. Tafsir atas kepentingan dua kutub selalu dimungkinkan. Tetapi semuanya berujung pada hal yang sama, ekonomi. Ada yang sekedar memastikan periuk nasi tetap terisi, hingga ke soal penguasaan asset dan investasi jutaan dollar.

Tragedi prank sampah Ferdinan Paleka hingga masturbasi di IKEA saya mengulasnya disini, adalah bagian dari penggalan fakta itu.  Eksistensi. Cara memenangkan pertaruhan sebagai pengendali. Bahkan, bisa jadi, menjadi terdakwa dalam pengadilan dunia maya adalah bagian dari scenario menciptakan keriuhan.

Sebenarnya, hal ini sudah sering disebut dalam acara  gossip TV. Mereka bilang settingan. Jika dipikir-pikir,  jangan-jangan, kita ini adalah maniac keriuhan.

Perhatikan saja, bagi sembako di kala PSBB pun riuh. Naik kereta menjelang PSBB riuh. Bandara di buka terbatas riuh. Penutupan, MC Donald Sarinah, riuh. Semua terjadi di saat semuanya harusnya tetap ada di rumah. Apa ini tidak menunjukkan gejala yang tadi saya sebut ; maniak !

Siapa yang diuntungkan? Lain kali pertanyaan ini saya tulis dalam artikel tersendiri. Tetapi sebelum tulisan ini saya akhiri, saya mau bahas korelasinya dengan judul tulisan ini. Saya takut juga jika nanti dianggap, judul dan isi yang tidak nyambung hanya salah satu strategi penulis dalam menarik pembaca. Klik bait. Tetapi bisa juga sih.

Di awal saya mengatakan bahwa semua bisa dan banyak yang menginginkan dirinya adalah pengendali. Pusat dari keriuhan. Itu tidak mungkin terjadi jika ia tidak eksis. Pandemi, bisa menjadi tema menarik untuk digarap bagi eksistensi tersebut. Membangkitkan kemarahan, Adrian Paleka sudah merasakan ganasnya. Atau membangkitkan kesadaran berbagi, maka dunia maya dibanjiri dengan postingan-postingan yang penuh acara-acara kemanusiaan. Berbagi sembako satu diantaranya.

Berbagi pun  ternyata tetap menarik untuk diadili. Kemudian ada yang bikin gerakan, tidak memfoto penerima bantuan, cukup bantuannya saja.  Bahkan sebagai negara yang relijiyus, isu surga pun menjadi pisau analisa. Ada yang bilang, kasih bantuan tidak perlu dipamerkan ke mana-mana. Itu hanya akan menutup pintu surga baginya. Hal ini menarik menurut saya. Bahwa berbagi bantuan bagi sebagian kalangan adalah bentuk keimanan, tetapi bagi sebagian lainnya, itu hanya strategi bagi sebuah eksistensi. Jadi memang bukan surga yang dia mau, tapi like, follow dan subscribe. Kita tinggal pilih sreg yang mana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun