Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyoal Caleg Mantan Napi Korupsi

5 Juli 2018   08:00 Diperbarui: 5 Juli 2018   08:12 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nonton berita TV, bahasan politiknya kok masih senada. Soal peraturan KPU yang melarang eks napi korupsi nyaleg. Nara sumber yang berasal dari anggota DPR, suaranya juga sama. Pada prinsipnya secara moral, mereka sepakat sama KPU. Nih, masih ada tapinya sih. Jangan sampai niat baik, justru dilakukan dengan cara yang salah. Mereka (para anggota DPR) bilang, KPU melampau kewenangan. Peraturan tersebut menabrak Undang-undang.

Sebagai rakyat, yang nggak baik-baik amat (karena masih suka kelupaan, buang sampah sembarangan) kok jadi prihatin ya. Bukan sama peraturan KPU, tetapi sama sikap ngotot para anggota DPR. Kok tiba-tiba mereka jadi ingat Undang-Undang. Mereka jadi ingat soal prosedur. Mereka jadi ingat soal tatanan hukum dan kesadaran untuk tidak melanggar tatanan tersebut. Bahkan di sebuah acara dialog TV, bilang begini ; peraturan ini membuat KPU menghilangkan  hak konstitusional warganegara. Jiah, pahlawan bangetlah pokoknya.

Menurut saya menarik apa yang disampaikan pimpinan KPU. Jangan sampai soal substansi dibelenggu oleh procedur. Meski procedur itupun menurut mereka tidak ada yang dilanggar. Jika dianggap keliru, ada proses hukumnya untuk menganulir. Ke Mahkamah Agung. Klop. Ini negara hukum, semestinya memang demikian. Karena KPU dan para ahli hukumnya menganggap peraturan itu memungkinkan untuk dilakukan, sementara DPR tidak. 

Soal beda tafsir begini kan, ya perlu diselesaikan lewat tatanan yang disediakan. Jadi bukan hanya DPR yang  memiliki kebenaran soal tatanan dan prosedur. Lah kalau mereka (anggota DPR) ngeributin soal prosedur, kan juga bisa melalui prosedur. Bukan ngotot prosedurnya yang paling benar. Itu menurut saya.

Cita-cita baik, caranya salah. Karena cara, sama dengan prosedur. Sudah saya sampaikan seperti di atas. Kali ini saya mau bahas soal cita-cita baik, alias niat baik. Semua setuju ini baik, tetapi kenapa dengan niat baik, reaksi mereka agak-agak gimana gitu ya? Sebagai rakyat yang punya hak pilih, saya kok jadi curiga. Apakah para wakil rakyat itu menganggap bahwa korupsi bukan kejahatan yang luar biasa? Terbukti, masih banyak yang bisa cengar-cengir saat mengenakan rompi oranye. Bahkan ada yang dengan gagah mengepalkan tangan. Seperti pejuang yang sedang di zolimi KPK. Bahkan dengan lantang para wakil rakyat itu bicara; hak konstitusional!

Mengapa mereka tidak bicara hak-hak rakyat yang dirampas. Jalan yang tak kunjung beraspal. jembatan tidak sesuai spesifikasi. Angkutan tidak layak. Sekolah ambruk. Puskesmas tidak kunjung dibangun. Dan muasih banyak lagi, yang muaranya ke prilaku korup. Sekali lagi, korupsi! Merampas hak rakyat untuk hidup sejahtera,  yang juga diamanatkan oleh konstitusi, kok tidak jadi rujukan.

Berikutnya, apa sudah sedemikian parah proses kaderisasasi partai politik di negeri ini? Sehingga masih menggantungkan harapan pada para kadernya yang gemar ngutil. Ini soal bagaimana saya membaca gelagat saat mereka menanggapi peraturan KPU. Nafsu banget. Membuat saya jadi babar blassnggak nafsu pergi ke TPS, buat nyolok jidat mereka. 

Sampai-sampai saya ini berburuk sangka, kepentingan apa sih yang sedang mereka perjuangkan? Saya mau bilang begini; sepertinya ini bukan sekedar soal prosedur. Tapi nggak berani, tidak punya data soalnya.

Begini saja, sudah saatnya para pemangku kepentingan di partai politik itu juga berpikir surgawi, jangan melulu sekuler. Sudah saatnya juga memikirkan kader-kadernya yang militan itu dengan hal-hal yang baik buat mereka. 

Berilah mereka (yang sudah pernah dibui karena korupsi) kesempatan memperbaiki diri. Jangan dijerumuskan dalam godaan-godaan duniawi lagi. Karena bagi para pecandu, lihat barang di depan mata suka khilaf. Karena yang jelas, saya, dan jutaan rakyat lain, menginginkan wakil yang bersih dan bukan penjahat kambuhan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun