Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seni Mengajar

3 Februari 2016   23:09 Diperbarui: 3 Februari 2016   23:27 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengajar itu seni. Bukan sekedar berdiri di depan kelas, menyampaikan materi pelajaran, selesai. Tetapi dalam prosesnya juga melibatkan rasa dan intuisi. Perlu gaya, yang mengikuti suasana kebathinan yang sedang terjadi. Tujuannya, agar suasana dinamis terjadi dan apa yang disampaikan dapat diserap dengan baik.

Di kelas, setiap hari selalu saja ada peristiwa unik, baru, dan bisa jadi itu bisa sangat menginspirasi. Namun tidak menutup kemungkinan, prosesnya sangat menjemukan, membuat amarah, juga menyebalkan. Bayangkan, setiap hari,  guru harus bertemu dan menangani puluhan bahkan ratusan orang. Beragam perangai dan tentu saja latar belakang keberadaan mereka. Tetapi, disitulah letak tantangannya. Dinamika yang terjadi, suka atau tidak adalah bagian dari episode yang mesti dijalani. Menjadikannya tetap istimewa, atau tersiksa. Adalah pilihan. Memilih menjadikannya tetap menyenangkan adalah pilihan yang dapat menyehatkan jiwa dan raga. Bagi saya disitulah letak seni-nya.

Beberapa kebiasaan, efektif menolong saya dari jebakan ‘rutinitas’ mengajar. Itu bukan berarti membuat saya jadi tidak rutin mengajar, sama sekali bukan.  Maksud saya, mengajar bukan sekedar proses rutinitas belaka, karena terkait dengan status  guru. Tetapi lebih dari itu, sebab ada energy yang membuat saya menikmati prosesnya. (baca juga ; guru yang senantiasa memancarkan energy).  Namun itu juga bukan berarti saya tidak mengalami kejenuhan. Karena saya pikir, kejenuhan juga adalah hal yang wajar saja terjadi. (kejenuhan itu apa?). Kebiasaan itu diantaranya adalah hal-hal yang saya paparkan berikut;.

Berusaha Menyajikan Hal Baru

Kurikulum sama, berarti materi yang sama, bukan berarti tidak ada hal baru untuk disampaikan. Menurut saya, selalu saja ada informasi, atau analogi baru yang dapat digunakan untuk ‘mendekati’ sebuah pokok bahasan. Tanpa hal tersebut, mengajar menjadi menjenuhkan bagi saya. Siswa bisa saja berganti tiap tahun, tapi saya akan kembali lagi pada materi yang sama.

Teman pernah bilang, bagi guru ilmu social barangkali lebih mudah, karena apa yang dipelajari itu dinamis, tetapi bagi ilmu pasti, hal itu akan sulit. Menanggapi hal tersebut, pikiran saya sederhana; bukankah ilmu, apapun itu bersumber dan ditujukan bagi manusia, sementara sumber dari ilmu itu dinamis. Masa iya ilmunya statis, termasuk untuk ilmu eksak sekalipun, saya meyakini pasti juga dinamis. Itu hanya masalah, mau mencari atau tidak!

Menyeimbangkan Ekspektasi dengan Realitas

Banyak guru mengeluh, merasa tertekan, ketika siswa tidak dapat mengikuti atau mengerjakan sesuai keinginan kurikulum dan guru. Awalnya saya juga begitu, tetapi lama-kelamaan saya mulai realistis berpikir.

Sebagai guru sejarah, sebuah kebahagiaan bagi saya jika nilai pelajaran sejarah siswa saya bagus semua. Tetapi kenyataan-kan tidak demikian. Padahal saya sudah merasa mengajar semaksimal mungkin, memberikan apa yang saya bisa. Selesai mengajar, siswa pun menunjukkan bahwa materi telah diserap dengan baik. Hal itu bisa ditunjukkan dari pertanyaan-pertanyaan sederhana diakhir proses. Tetapi sewaktu ulangan, adakalanya hasilnya mengecewakan.

Mengatasi itu, saya mulai berpikir, barangkali ini juga bagian dari upaya menenangkan pikiran. Bahwa ketika saya mengajar, saya tidak sedang membentuk mereka menjadi seperti saya. Sehingga, ketika mereka tidak memahami seperti apa yang saya pahami, saya kira itu wajar saja. Tugas saya hanya, menyampaikan, dan memberikan gambaran pada mereka apa, mengapa, bagaimana, siapa, dimana, kapan peristiwa sejarah itu terjadi. Toh, mereka juga bebas menarik nilai dari peristiwa tersebut sesuai perspektif mereka. Jadi, tugas saya bukan mencetak, melainkan memberi perspektif. Soal nilai, itu hanya masalah angka, yang juga belum tentu dapat menentukan sukses atau tidaknya seseorang.  Dengan begitu, saya jadi nyaman dan iklas saja dalam mengajar.

Membangkinkan Energi positif

Saya sering masuk kelas dan mendapati suasana kelas sama sekali tidak siap untuk belajar. Ini bukan soal sikap para siswa saja, tetapi juga menyangkut konsentrasi mereka. Bisa saja sepertinya mendengarkan, tetapi saya seperti melayang saja diruang hampa, kosong, karena tidak ada respon.  Bahkan, tidak jarang juga, kehadiran saya diabaikan, seolah tidak ada guru di kelas itu. Masing-masing asik dengan dirinya dan kelompoknya. Apa yang bisa dilakukan, marah, memang efektif untuk membuat mereka mengetahui saya hadir, tetapi bukan jaminan membangun suasana kondusif untuk belajar. Saya kira, itu juga membuang energy positif yang ada.

Pilihannya ada dua, larut dengan suasana siswa, berarti saya dikendalikan mereka, atau saya tetap mengendalikan mereka. Saya memilih yang kedua. Dan Saya juga biasanya memilih untuk tidak marah, karena bisa berdampak bagi kenyamanan pada proses mengajar ketika suasana sudah memungkinkan. Meski, kadang marah juga menjadi alternatif pilihan. Namun lebih sering, suasana berhasil dikendalikan dan dihidupkan dengan antusiasme yang saya miliki bukan dengan amarah saya.

Antusias pada proses, ternyata punya dampak psikologis yang mampu mengendalikan dan memfokuskan suasana kebatinan. Mimik dan intonasi serius yang disampaikan dengan gaya santai, biasanya mampu menyihir kelas. Dari negatif perlahan menjadi positif. Caranya sederhana, saya hanya perlu sedikit menjelajah pada suasana kebatinan para siswa pada saat itu, tidak memaksakan kehendak.

Tulisan ini, bukan berdasarkan kajian ilmiah yang pasti betul karena penelitian yang mendalam. Sama sekali bukan, hanya sekedar share dari proses yang saya alami. Barangkali dapat membantu, tetapi jika ada masukan yang berarti, saya siap berdiskusi. Senang menerima saran kritik Anda, kirim saja ke ;  presiden_smu@yahoo.com.  

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun