Mohon tunggu...
Juca aiyolanda
Juca aiyolanda Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Historian dan Pendidik. Mahasiswa Pascasarjana Filologi UI.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Memahami Polemik Bahasa dan Budaya

8 Juni 2020   03:50 Diperbarui: 10 Juni 2020   00:45 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi berbahasa. (sumber: Palto via kompas.com)

Dalam narasi cerita di naskah tersebut, kita akan sangat memahami bahwa aturan pemerintahan dan adat harus berlandaskan ajaran Islam sehingga segala keselamatan bisa diraih oleh masyarakatnya.

Memahami perdebatan yang timbul di dalam polemik ini, umumnya orang menganggap bahwa adanya hierarki agama yang digunakan dalam mengontrol sesuatu, dalam hal ini adalah kasus aplikasi Injil dalam bahasa Minang yang dihapus.

Asumsi demikian tampaknya harus kita sampingkan dulu, secara mendalam dalam kasus ini maka sebaiknya kita harus benar-benar memahami Penomena "bahasa" itu sendiri karena antara satu kebudayaan dengan yang lainnya akan sangat berbeda polanya, misalnya di dalam Bahasa Jawa tentunya memiliki tingkatan dalam cara penuturannya, tentunya di kebudayaan lain akan berbeda lagi Penomena bahasa yang hadir. 

Mengambil sempel pengaruh bahasa Sansekerta  terhadap bahasa-bahasa di Nusantara yang telah lama hadir seiring dengan Indianisasi yang menjamur pada masa lampau di Nusantara.

Maka bisa dikatakan bentuk pengaruh bahasa sansekerta di peradaban asalnya di India, juga bisa  terjadi pada kebudayaan dan bahasa kita. Pengaruhnya secara tidak langsung juga terbawa dalam elemen-elemen dasar dari masyarakat, dalam hal ini adalah bahasa.

Salah satu bentuk penomena bahasa di India yang mungkin juga terjadi di Nusantara adalah diglosia. Pengaruh yang telah lama berakar dalam India dan berpengaruh besar terhadap perkembangan bahasa di Nusantara. 

Dalam penjelasan Perguson dan Houben konsep ini seperti halnya bahasa formal dalam sebuah sekolah, sedangakan Fisherman menegaskan bahwa ragam unggul dalam suatu masyarakat diglosia adalah variasi bahasa yang bukan bahasa ibu siapa pun, yang dipelajari dalam pergaulan masyarakat di bawah pengaruh sebuah lembaga resmi di luar rumah, dan tidak terjangkau oleh semua orang. 

Secara singkat penutur bahasa memiliki bahasa yang umum dipakai orang, dan ada bahasa yang memiliki posisi tersendiri sakral. Sama halnya dalam bahasa Sansekerta (bahasa yang sempurna) dan bahasa-bahsa prakerta prakrit (bahasa yang berkembang alami ). 

Secara singkat bahwa bahasa Sansekerta merupakan turunan dari kitab suci Veda sehingga memiliki posisi bahasa yang sakral, sedangkan prakit memiliki posisi bahasa yang bisa berkembang, akan tetapi tidak menutup kemungkinan luluhnya posisi penggunaan bahasa Sansekerta yang kemudian berkembang secara alami seperti pola prakerta.

Dalam Penomena bahasa Minang jika mengacu pada konsep diglosia, masyarakat masih terbatas pemahamannya dalam mengasumsikan bahasa Minang sama seperti bahasa sehari-hari.

Bahasa Minang dianggap bahasa yang formal dalam masyarakat penuturnya, faktanya bahasa tersebut juga digunakan sebagai oleh tetua adat dalam menyampaikan falsafah hidup kepada masyarakat Minang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun