"Seandainya Bonnie Parker tidak berjumpa sosok lelaki bernama Clyde Barrow, mungkin Bonnie tidak akan menjadi perampok, pun juga sebaliknya. Dalam aksi bersama anggota geng lainnya, mereka diyakini membunuh sembilan polisi dan empat warga sipil. Pasangan ini tewas dalam penyergapan polisi di dekat Gibsland, Louisiana, Amerika Serikat tahun 1934"
Itu sebuah kutipan menarik dari sebuah artikel di Kompas, 23/9 yang menjadi rujukan untuk mengulas kejahatan memutilasi korban yang sampai hari ini masih jadi pemberitaan hangat di media online. Andai kedua pelaku dan korban tidak bertemu tentu kejadian keji itu tidak akan terjadi. Karena faktor ajakan di sekitar lingkunganlah membuat mereka tega merencanakan pembunuhan beserta mutilasi tersebut.Â
Merujuk ke belakang, kita pasti tahu nama pelaku Laeli Atik Supriyatin atau LAS dan Djumadil Al Fajri atau DAF. Keduanya ditangkap petugas Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya di perumahan Permata Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat karena menghilangkan nyawa Rinaldi atau RHW yang dikabarkan terakhir terlihat tanggal 9 September.
Si korban dikabarkan mengenal LAS dalam sebuah aplikasi tinder, setelah itu LAS dan korban semakin sering berkomunikasi dan terjadilah pertemuan di salah satu apartemen di daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat.Â
Terjadilah pertemuan di sebuah kamar, keduanya dikabarkan berhubungan badan, lalu DAF menyerang korban dengan batu bata dan senjata tajam.Â
Atas sebagian dari kronologi tersebut dapat kita sebut bahwa pemutilasi tersebut adalah sosok yang keji, brutal dan tak terampuni. Jujur saja, penulis menganggap tindakan memutilasi itu sangat tidak terampuni karena pelaku tidak memikirkan nyawa orang lain hilang karena tindakan mereka dan tidak memikirkan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai Ketuhanan sebagai umat beragama.
Bagaimanapun tindakan itu adalah dosa berat. Kalau dalam agama Kristen dikenal dengan Hukum Taurat yang didalamnya tercantum ajakan jangan membunuh. Ketika seseorang sudah membunuh maka itu pelanggaran hukum Taurat yang dosanya sangat berat.
Begitu menyedihkan juga ketika motif dari pembunuhan beserta mutilasi tersebut karena masalah ekonomi dimana dikabarkan pelaku tidak makan lagi dan berniat mengambil sejumlah uang korban sebesar Rp. 97 juta sekaligus membeli perhiasan dan keperluan lainnya dari rekening korban. Itu sebuah kejahatan besar karena si pelaku memikirkan mendapatkan uang dengan cara instan dan tidak memilih bekerja keras untuk mendapatkannya.
Wajar bila ancaman hukumannya sangat berat antara, 20 tahun, seumur hidup maupun hukuman mati. Pelaku telah melakukan pembunuhan dengan berencana dan itulah ancaman hukumannya sesuai Pasal 340 KUHP.
Tindakan keji yang tak terampuni itu layak dihukum berat sesuai dengan perilakunya. Bagaimanapun memutilasi itu bagaikan nyawa manusia tidak berharga. Tindakan itu bagaikan sebuah daging hewan seperti sapi atau kambing dan ayam yang diperjualbelikan dan dibelah beberapa bagian. Itu tindakan keji.
Sebab itulah, kita tidak bisa membiarkan hal itu terjadi dan proses hukum harus terus berjalan sampai vonis hakim diberikan. Semoga di masa yang sulit ini, kita tidak berniat melakukan hal-hal keji karena masalah ekonomi yang sulit. Berusahalah untuk bekerja keras mendapatkan uang bukan dengan cara-cara instan yang melukai nyawa orang lain.