Fahri Hamzah politisi partai Gelora sedang dalam pembicaraan karena disebut melanggengkan dinasti politik setelah mengutarakan dukungan untuk keluarga Presiden Jokowi di pilkada serentak 2020. Bahkan Fahri pernah menyarankan Gibran untuk tidak masuk dalam lingkar kekuasaan. Saat itu, alasan Fahri, reputasi Jokowi akan buruk jika Gibran masuk kekuasaan.
Namun, Fahri menjawab tudingan itu dan berkata,"Itu nasihat setahun lalu: Gelora belum ada. Pilkada belum ada. Gibran belum maju. Setahun kemudian: Gelora ada. Pilkada sah mulai. Gibran sudah maju. Masak dilarang," tulis Fahri dalam akun Twitter resmi @Fahrihamzah seperti dikutip dari CNN Indonesia.com, 19/9.
Beda yang dulu dengan sekarang
Atas pernyataan Fahri yang berbeda setahun lalu dengan sekarang mengenai Gibran dan Bobby yang maju dalam pilwalkot Solo adalah bagian dari politik yang tak dapat diterka. Inilah yang penulis katakan sebelum-sebelumnya bahwa dalam politik apa saja mungkin. Tidak ada yang bisa menduganya.
Ketika ada sebuah kepentingan maka apapun akan dilakukan. Dengan dukungan Gelora kepada Gibran dan Bobby adalah bentuk dari sikap politik Gelora agar ikut dalam mengarungi perpolitikan di Indonesia.
Sebagai partai baru dan belum bisa mencalonkan sendiri kadernya dalam pilkada, maka Gelora harus mencari cara bagaimana agar populer, dikenal rakyat dan bisa dicintai. Langkah partai baru adalah mencari dukungan rakyat agar menjaga eksistensi mereka di perpolitikan Indonesia.
Tahap pertama yang dilakukan Gelora adalah mendukung Gibran dan Bobby serta bergabung dengan partai besar lainnya. Ketika Gibran dan Bobby menang maka nama Gelora ada didalamnya yang turut andil memenangkannya.
Andai Gelora bersama Fahri Hamzah tetap pada pendiriannya menolak mendukung Gibran dan melawan dinasti politik maka sama saja tidak baik bagi Gelora itu sendiri. Itulah yang penulis cermati terkait pernyataan Fahri dan partai Gelora.
Apa yang sudah disampaikan setahun lalu, itu tidak bisa dipegang sepenuhnya. Itulah politik dan politisi. Jadi, kita tak perlu heran bahwa komitmen Fahri setahun lalu menolak dinasti politik dan menyarankan Gibran tidaka masuk lingkar kekuasaan hanya "omongan belaka" saja. Itu sudah lumrah dalam politik.Â
Begitulah politik kita. Tak perlu heran dan menghujat. Hampir semua politisi dan partai politik seperti itu. Seperti layaknya Gerindra bersama Prabowo Subianto melawan Jokowi yang diusung PDIP dan beberapa partai lainnya bertarung keras dan panas pada pemilu 2019 lalu.
Tapi apa, semua mencair ketika Prabowo masuk dalam jajaran menteri kabinet Indonesia Maju Jokowi-Ma'ruf Amin. Itu bukti bahwa politik itu tidak dapat diterka dan bisa berubah dalam sedetik.