Mohon tunggu...
Juanda
Juanda Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer Taruna

$alam Hati Gembira ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anakku Sayang, Anakku Malang, Anakku Bahagia

11 Juli 2019   10:56 Diperbarui: 24 Juli 2019   00:29 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
smilefoundationindia.org

"Kebutuhan dasar anak hanyalah kasih sayang dan rasa aman."  

Ada yang berencana punya anak, namun belum diberi. Ada yang tidak berencana malah mendapatkannya. Ada yang masih di dalam kandungan dipanggil oleh Pemiliknya. Ada yang belum bisa menginjak bumi telah dipanggil Pemiliknya. Ada yang diberi kesempatan sejenak menginjak bumi, lalu dipanggil Pemiliknya.

Kelahiran dan kematian adalah misteri ilahi yang tak bisa dinginkan atau ditolak. Begitu menginginkan, namun tak pernah menerimanya. Ingin menolak, namun tetap mengalaminya. Inilah yang akan terjadi setiap hari dalam kehidupan ini.

Kehadiran seorang manusia mungil yang bernama bayi atau anak ini, selain bisa membahagiakan orangtua yang mengharapkannya, namun juga bisa menyedihkan bagi yang tidak mengharapkan kelahirannya.

Apalagi untuk yang telah menantikan kehadirannya bertahun-tahun akan begitu senangnya luar biasa. Sebaliknya yang tidak senang, bisa ditinggalkan begitu saja di rumah bersalin atau rumah sakit. Yang lebih menyedihkan dibuang ditempat tertentu. Yang lebih sadis akan dibunuh dengan segera.

Di sisi lain, meski menantikan kehadiran sang buah hati, namun ketika mendapatkannya tidak sesuai dengan yang diharapkan, bisa juga menimbulkan kekecewaan tersendiri. Misal: soal jenis kelamin, kemiripan, warna kulit atau cacat tubuh atau jiwa.  

Sesungguhnya seorang anak tidak pernah berharap untuk dilahirkan. Anak pun tidak pernah bisa memilih orangtua jenis apa dan dilahirkan di mana. Ketika lahir, anak akan menangis dan orangtua yang mengasihinya akan memeluknya. Sebaliknya yang tidak suka dengan kehadirannya, akan merasa terganggu atau geram dan bisa bersegera untuk memarahinya, bahkan membungkam mulutnya.

Hari Anak

Di dunia ini ada peringatan hari ayah, ibu, anak dan keluarga. Apakah ada hari cucu dan cicit? Penetapannya ada perbedaan di beberapa negara. Namun secara internasional ada kesepakatan tersendiri di antara yang menyepakatinya.

Di Indonesia, Hari Ayah tiap tanggal 12 November, Hari Ibu tiap tanggal 22 Desember, Hari Anak tiap tanggal 23 Juli dan Hari Keluarga tiap tanggal 29 Juni.

Hari Anak Nasional diperingati setiap 23 Juli sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984 tanggal 19 Juli 1984.

Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi Indonesia pada tahun 1990 Bab (1) Pasal (1), yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun. Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal (1) Ayat (1) juga menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.[1]

Untuk tahun ini, puncak peringatan Hari Anak Nasional 2019 bertema, "Peran Keluarga Dalam Perlindungan Anak[, dan dengan slogan 'Kita Anak Indonesia, Kita Gembira', akan dilaksanakan di Lapangan Karebosi - Makassar yang akan dihadiri Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana.[2]

Penderitaan Anak

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat 228 kasus kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan fisik sepanjang 2018. Kekerasan fisik ini paling banyak dilakukan pendidik.[3]

Menurut KPAI: Ada 32 Kasus trafficking dan eksploitasi anak di Indonesia pada awal 2018, dengan kasus anak korban trafficking sebanyak 8 kasus, anak korban eksploitasi seks komersial 13 kasus, anak korban prostitusi 9 kasus dan anak korban eksploitasi ekonomi sebanyak 2 kasus.[4]

Banyak orang yang lebih tua, tidak rela melihat anak-anak bahagia dalam pertumbuhannya. Mulai dari menekan sesuai dengan keinginannya, hingga mengeksploitasi anak-anak atas nama tertentu, seperti:

1. Atas nama pendisiplinan, maka terus memarahi, lalu meningkat dengan menyiksanya.
2. Atas nama kebutuhan ekonomi, maka mengajari anak untuk mengemis, hingga memaksanya untuk bekerja keras.
3. Atas nama bekerja, maka membiarkan anak tanpa pengawasan dan menitipkan kepada sembarang orang.
4. Atas nama masa depan, maka menyiksa anak untuk belajar ini belajar itu atau les ini les itu.
5. Atas nama gairah yang khilaf, maka memerkosa, hingga menjual anaknya sendiri sebagai budak seks.

Malang nian nasib anak yang mengalami perlakuan seperti ini. Ingin menangis, tak ada yang memeluknya, bahkan malah memukulnya. Memiliki keluarga, namun merasa yatim piatu. Harus berjuang sendirian melakukan yang bukan tugasnya, hanya demi memuaskan obsesi orang yang lebih tua.

Hatinya hancur saat melihat teman sebayanya sedang bermain bahagia. Dicium dan dipeluk oleh ayah dan ibunya. Pergi bersama-sama keluarga menikmati liburan. "Kapan aku bisa seperti ini," teriaknya dalam hati.

Kebutuhan Dasar Anak 

Anak juga manusia. Namun memiliki usia yang lebih muda dan tubuh yang lebih mungil dibandingkan dengan orangtuanya. Meski demikian, kebutuhan dasarnya tetap tidak berbeda jauh dari orang dewasa secara batiniah.

Ada dua kebutuhan dasar anak, yaitu kasih sayang dan rasa aman. Tidak banyak tuntutan anak sesungguhnya. Bukan masalah uang atau harta banyak atau rumah mewah yang dipikirkannya. Namun ingin bersama ayahanda dan ibundanya senantiasa.

Namun tuntutan ekonomi yang memaksa ayah dan ibunya bekerja. Maka anak akan kesepian dalam pertumbuhannya. Dia harus memikirkan nasibnya sendiri dalam kesendirian, meski memiliki orangtua yang lengkap. Apalagi jika anak tunggal.

Meski ada orang lain yang menemaninya, termasuk keluarga dekatnya, namun sejujurnya batinnya tetap ingin dekat dengan ayah dan ibunya sendiri terus menerus. Ini bukan sekadar makna quality time, namun juga quantity time. 

Untuk masyarakat kota, memang hal ini jauh dari harapan untuk bisa terjadi. Bahkan kalau pulang kerja, ayah atau ibunya menikmati gawainya masing-masing. Atau pulang kerja anak-anak telah tidur dan esok pagi setelah anaknya berangkat sekolah baru bangun.

Apalagi jika orangtunya bekerja di luar kota, luar pulau atau luar negeri, sejujurnya betapa sedih batin anak itu, meski salah satu orangtuanya hadir di rumah. Anak ingin keduanya bersamanya.

Ini memang akan sulit untuk dipahami oleh orangtua yang telah mengalami sendiri, bahwa orangtuanya itu demikian meninggalkannya pada saat dia masih kecil. Maka ia pun akan memperlakukan anaknya demikian pula. Dan kemungkinan, anaknya juga akan memperlakukan anaknya pun demikian.

Coba bayangkan, kalau orangtuanya bercerai demi akuismenya untuk menjaga harga dirinya masing-masing. Dengan alasan demi kebaikan pasangan tersebut, namun tidak pernah merasakan perasaan anaknya itu. Maka anaknya akan menikmati single parent dalam hidupnya.

Belum lagi, jika ayahnya yang dicintai dan diharapkan senantiasa hadir menemani, ternyata melakukan poligami, demi kepuasan dirinya semata, tanpa memikirkan istri dan anaknya. Dengan dasar, yang penting bisa 'berlaku' adil, tanpa lagi memedulikan 'perasaan' istri dan anaknya.

Lebih mengerikan lagi, dengan alasan demi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ternyata akhirnya ayah atau ibunya harus menginap di hotel prodeo sekian tahun. Lalu beritanya tersiar ke mana-mana.

Lalu teman anaknya bertanya, "Mengapa ayahmu di penjara? Atau mengapa ibumu di penjara?" Apakah anaknya akan menjawab dengan tenang, "Ayahku korupsi. Atau ibuku korupsi?"    

5-P Cara Membuat Anak Bahagia

1. Penyertaan orangtua
Kehadiran orangtua begitu dinikmati oleh anak-anak. Sebaliknya orangtua akan mengalami kejenuhan dan terasa buang-buang waktu, saat menemani manusia kecil itu dalam kesehariannya. Maka muncul ide untuk menitipkan anaknya. Tapi hampir tak pernah ada orang yang ingin menitipkan emas atau berlian begitu saja. Manakah yang lebih berharga? Anak atau berlian?

2. Pelukan orangtua
Kehadiran tanpa kasih sayang dan rasa aman, maka tidak akan berdampak dalam perasaan anak. Meski orangtua sering memeluk anak, namun anak dalam dirinya akan merasakan, apakah ini pelukan dengan ketulusan ataukah hanya pura-pura semata. Ingat anak bisa merasakan. Jadi jangan sekadar memeluk anak. Ada pelukan karena rasa bersalah, kasihan, gemes atau dengan ketulusan.  

3. Perhatian orangtua
Meski telah hadir atau sering memeluk, bukan berhati telah selesai tugas orangtua. Kadang anak berulah yang aneh-aneh, itu bukan sedang ekspresi kenakalannya. Anak hanya ingin mencari perhatian orangtuanya. Tidak lebih daripada 'caper aja'.

4. Peneladanan orangtua
Anak itu seorang pendengar yang buruk, namun seorang peniru yang baik. Anak lebih suka meniru perbuatan orangtuanya, daripada mendengar nasihatnya.

Contoh: Kalau ingin anak tidak melanggar rambu lalu lintas, orangtua pun jangan. Kalau ingin anak tidak main gawai terus menerus, orangtua pun jangan. Kalau ingin anak penyabar, orangtua pun demikian.

Sri Sultan Hamengkubuwono VIII Raja di Kesultanan Yogyakarta 1880-1939 pernah berkata, "Pengaruh suatu teladan yang baik jauh lebih bermanfaat daripada suatu teguran tajam." Dan Najwa Shihab mengingatkan, "Bagaimana anak muda bisa diam ketika aparat justru miskin teladan."

5. Petunjuk orangtua
Anak senang kalau orangtua yang 'dipercayainya' itu memberi masukan atau nasihat untuknya. Meski anak telah tahu jawabannya, kadang dia ingin pendapat orangtuanya. Kalau tidak dapat, maka akan mencari pendapat dari orang lain. Mungkin ini hanya untuk meneguhkan apa yang mau dikerjakannya itu.

Sebuah Kisah

Saat menulis artikel ini saya sedang di Samarinda. Beberapa waktu lalu diajak teman untuk masuk ke daerah pertambangan batu bara. Saat di mobil itu, lalu teman menceritakan kisah-kisah keluar masuk hutannya dengan melewati jalan-jalan yang tidak layak untuk dilewati.

Sampai sebuah kisah tentang temannya yang naik motor dari Kalimantan Timur ke Kalimantan Tengah yang jatuh di dalam hutan, hingga ajal merengutnya.

Apa yang membuatnya jatuh? Ada sekelompok monyet yang sedang menyeberang jalan. Lalu ada sang pemimpin dari monyet yang badannya besar, berdiri di tengah jalan layaknya seorang polisi yang menghentikan setiap yang lalu lalang di jalan itu.

Temannya yang naik motor itu kaget, ketika mendadak tiba-tiba muncul sang monyet yang besar itu. Mungkin dikira mau menyerangnya, lalu menghindari. Padahal monyet itu hanya menghentikan semua yang lewat jalan itu, untuk memberi kesempatan para keluarga monyet yang mau menyeberang jalan.

Yang lucu monyet yang besar itu berdiri di tengah jalan, lalu satu tangan menyetop kendaraan yang lewat, dan satu tangan lagi mempersilahkan rombongan para monyet termasuk anak-anaknya yang masih kecil untuk menyeberang jalan dengan aman (bayangkan, layaknya kerja pak polisi di perempatan jalan yang mengatur lalu lintas).

Lalu teman berkata dengan entengnya, bahwa monyet bisa berlaku seperti manusia, untuk menjaga keluarganya. Namun terkadang manusia bisa lompat-lompat layaknya monyet, untuk membuat keluarga baru di sana-sini.-

Sumber:

[1] https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/25/732/profile-anak-indonesia

[2] https://www.antaranews.com/berita/942808/peringatan-hari-anak-nasional-2019-dalam-tiga-rangkaian-acara

[3] https://nasional.tempo.co/read/1159450/kpai-catat-228-kekerasan-anak-paling-banyak-dilakukan-pendidik/full&view=ok

[4] http://www.kpai.go.id/berita/kpai-ada-32-kasus-trafficking-dan-eksploitasi-anak-di-indonesia-pada-awal-2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun