Mohon tunggu...
Jack Subarja
Jack Subarja Mohon Tunggu... -

Staf pada Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak, Ditjen Anggaran, Kementerian Keuangan Alumni KDI School of Public Policy and Management, South Korea

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sertifikat Halal, Penerimaan Negara atau Bukan?

6 Maret 2014   00:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:12 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sertifikat Halal, Penerimaan Negara atau Bukan ?

Oleh Jack Subarja *)

Memperhatikan berita akhir-akhir ini terkait dengan sertifikat halal dan Rancangan Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal, saya ingin sharing opini sebagai berikut:

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 23A dinyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Hal ini artinya setiap pemungutan pajak atau pungutan lainnya harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat selaku wakil rakyat.

Penyediaan layanan dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya, yang dikenal dengan istilah public goods, pada prinsipnya merupakan kewajiban Pemerintah yang harus disediakan secara cuma-cuma (free of charge). Layanan dasar tersebut, menurut berbagai kepustakaan, berupa keamanan dan ketertiban, kesehatan, pendidikan, keadilan, dan semua layanan yang tergabung dalam kelompok pekerjaan umum pemerintah.

Kewajiban inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan darimana pendanaan untuk pembiayaan penyediaan layanan tersebut dapat diperoleh. Respon yang kemudian lahir adalah diciptakannya berbagai pungutan pemerintah yang bersifat memaksa dan tanpa diberikan imbalan, yang selanjutnya kita kenal dengan pungutan pajak (Siswo Sujanto, 2010).

Pungutan yang bersifat memaksa tersebut dirasakan wajar. Hal ini mengingat public goods memiliki ciri utama berupa nonexcludability, yang artinya tidak seorangpun dapat dikecualikan untuk menikmati layanan tersebut (Harvey S. Rosen, Public Finance, 9th edition). Oleh sebab itulah pungutan pajak itupun secara prinsip bersifat nonexcludable, artinya tidak seorang pun dapat dikecualikan dari pungutan pajak.

Disamping layanan dasar yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya, terdapat pula layanan semi dasar (quasi-public goods) yang hanya dibutuhkan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Sebagaimana halnya layanan dasar, penyediaan layanan semi dasar ini pun pada hakekatnya merupakan kewajiban pemerintah. Hanya karena sifatnya yang agak eksklusif, sehingga tidak semua masyarakat membutuhkannya, secara teori, dipandang tidak adil bila layanan semi dasar ini harus dibiayai melalui penerimaan perpajakan yang ditanggung oleh seluruh masyarakat, antara lain seperti SIM, STNK, BPKB, visa, paspor dll.

Atas dasar pemikiran di atas, penyediaan layanan semi dasar tersebut kemudian dilakukan melalui pola cost sharing. Artinya, masyarakat pengguna layanan semi dasar pemerintah tersebut diwajibkan membiayai sebagian dana yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk penyediaan layanan dimaksud.

Dalam beberapa jenis layanan tertentu yang sifatnya lebih eksklusif, masyarakat diwajibkan membayar sebagian besar biaya layanan diterimanya, seperti visa dan paspor. Dalam hal yang demikian, pungutan terhadap masyarakat atas layanan tersebut bukan hanya untuk membiayai proses produksi jasa dalam penyediaan layanan itu sendiri, tetapi juga merupakan penerimaan Negara dalam arti sebenarnya yang dalam berbagai kepustakaan tentang Keuangan Negara dikenal sebagai administrative tax, karena Negara yang memegang otoritas atas perizinan dan layanan tersebut. Namun demikian, yang harus diperhatikan adalah bahwa penerimaan dimaksud tetap merupakan earmarked revenue, yaitu sejenis penerimaan yang dikaitkan dengan suatu pengeluaran tertentu.

Bapak Siswo mencermati bahwa terdapat kewajiban substantif dan teknis terkait layanan semi dasar ini, sebagai berikut:

1.Kewajiban substantif adalah kewajiban pemerintah terkait dengan kompetensinya selaku pemegang otoritas dalam pemerintahan. Kewajiban ini melekat pada pemerintah dan tidak dapat didelegasikan kepada siapa pun. Secara konkrit, kewajiban substantif ini dilaksanakan oleh kementrian/ lembaga beserta jajarannya dalam bentuk pelaksanaan tugas dan fungsinya.

2.Sementara itu, kewajiban teknis merupakan kewajiban pemerintah untuk mendukung terwujudnya layanan yang dibutuhkan oleh sekelompok masyarakat tersebut. Kewajiban ini dapat berupa kegiatan, penyediaan sarana maupun prasarana yang memungkinkan proses penyediaan layanan pemerintah dimaksud menjadi lebih mudah. Kewajiban ini, karena sifatnya merupakan pemberian dukungan (supportive activity), dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri atau dilakukan oleh pihak-pihak lain, sepanjang pemerintah, karena alasan tertentu, misalnya : ketersediaan alokasi anggaran, teknologi, ataupun alasan efisiensi, belum dapat melaksanakan sendiri.

Kalau kita mencermati uraian Bapak Siswo Sujanto, maka sertifikat halal memenuhi unsur-unsur sebagai penerimaan negara, yaitu:

1.Pemberian sertifikat halal merupakan layanan semi dasar yang hanya dibutuhkan oleh sekelompok masyarakat tertentu, dalam hal ini umat Islam. Selanjutnya, penyediaan layanan semi dasar tersebut kemudian dilakukan melalui pola cost sharing, antara Pemerintah, swasta (perusahaan) dan perorangan.

2.Pada hakekatnya, kewajiban menjamin tersedianya layanan tertentu kepada masyarakat tertentu tersebut ada di tangan Pemerintah. Hal ini tidak dapat dipisahkan dengan peran pemerintah sebagai otoritas. Oleh karena itu, dengan mengacu pada prinsip cost sharing dalam penyediaan layanan tertentu kepada masyarakat tertentu tersebut hak Pemerintah untuk memungut penerimaan dari masyarakat (perusahaan swasta dan perorangan) tersebut, di satu sisi, diikuti oleh kewajiban layanan, di sisi lainnya.

3.Sebagai earmarked revenue penerimaan negara ini memiliki ciri khusus dibandingkan dengan penerimaan dari sektor perpajakan. Terkaitnya penerimaan jenis ini dengan pengeluarannya membawa konsekuensi bahwa setiap terjadi peningkatan dalam penerimaan akan sekaligus mempengaruhi besaran pengeluaran yang bersangkutan. Hal ini tentunya dapat dipahami, karena semakin tinggi penerimaan menunjukkan telah terjadi peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap layanan tertentu dimaksud. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pemerintah harus menambah produksi layanan yang dibutuhkan. Dan konsekuensinya, kebutuhan anggaran untuk kegiatan tersebut secara otomatis akan meningkat.

Sumber:

Siswo Sujanto: www.keuanganpublik.com

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun