Mohon tunggu...
Eka Juliana
Eka Juliana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menilik Posisi Perempuan dalam Politik Dilihat dari Daerah Jambi

8 Desember 2022   17:41 Diperbarui: 8 Desember 2022   17:54 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Pexels

Sejak beberapa dekade terakhir, kita kerap kali mendengar banyaknya narasi juga seruan mengenai kesetaraan gender. Kesetaraan gender sendiri kerap diidentikkan sebagai keinginan yang sama dari perempuan agar setingkat dengan kaum laki-laki dalam segala aspek kehidupan sehari-hari, termasuk dalam dunia politik dan pemerintahan. Kesetaraan gender pun juga diamanatkan dalam demokrasi dimana harus adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki maupun perempuan, atas dasar prinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah dan tatanan kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan keputusan.

Gusmansyah (2019) dalam jurnalnya menuliskan bahwa dalam proses demokratisasi persoalan partisipasi politik perempuan yang lebih besar, representasi dan persoalan mengenai akuntabilitas menjadi persyaratan mutlak terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna di Indonesia. Demokrasi yang bermakna merupakan demokrasi yang memperhatikan serta memperjuangkan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia yang mana juga terdiri dari perempuan. Ide bahwa politik bukanlah wilayah bagi perempuan merupakan ide yang kerap didengungkan selama bertahun-tahun, dan ternyata memang terbukti sangat efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah ini. 

Terminologi publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, peran gender, dan stereotip, telah membentuk ketidaksetaraan serta ketidakadilan di antara perempuan dan juga laki-laki. Akibat yang paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marjinalisasi dan pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal.

Dalam realitasnya, perempuan cenderung atau selalu menggunakan mekanisme hak dipilih dan memilihnya, hanya sebagai pemilih semata. Rendahnya partisipasi keterlibatan perempuan dalam politik terutama di lembaga legislatif tercermin pada hasil persentasenya, dimana tercatat secara nasional menurut data dari Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) pada tahun 2014, keterlibatan perempuan di Parlemen hanya 17,3% turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 18,0%. Bahkan selama 2014-2018 pertumbuhannya membeku. Baru pada 2019, keterlibatan perempuan mengalami peningkatan. Pada 2021 keterlibatan perempuan secara nasional mencapai 21,9%.

Demikianlah representasi perempuan dalam bidang politik dapat dikatakan masih jauh dari harapan. Di indonesia sendiri perempuan yang terjun dalam dunia perpolitikan masih terbelenggu dengan latar belakang, budaya patriarki, perbedaan gender. Meski hingga kini pun selalu ada upaya untuk membenahi persolan tersebut. (Pasaribu, Unja)

Contohnya seperti kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak republik Indonesia yang terus berupaya meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik. Salah satu cara menghapus diskriminasi itu adalah dengan dibuatnya kebijakan seperti UU No. 10 tahun 2008 tentang partai politik pada pasal 55 ayat 2 yang mengatur bahwa setiap 3 bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan, dan UU No. 2 Tahun 2008 pada pasal 2 menyatakan keterlibatan perempuan sekurang-kurangnya harus mencapai 30%. Namun sayangnya pemenuhan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen ini nyatanya masih jauh dari kata memuaskan.

Sebenarnya, kehadiran pasal ini sebagai regulasi yang mengatur tentang keterlibatan perempuan dalam politik tentu suatu hal yang perlu diapresiasi karena kehadirannya telah memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk terlibat secara aktif dalam politik praktis jika saja memang benar diberlakukan. Sayangnya, pasal itu sendiri terbukti menjadi pasal karet karena tidak bersifat mengharuskan partai politik melaksanakan ketentuan itu dan tidak ada sanksi bagi yang tidak melaksanakannya. 

Yang lebih mengecewakan lagi, meskipun banyak partai politik menempatkan perempuan sebagai calon legislatif, tetapi mereka ditempatkan pada nomor urut besar. Padahal, sistem pemilu yang berlaku menetapkan bila calon pada nomor urut pertama tidak mendapat suara yang cukup, suara dari calon di bawahnya diberikan pada nomor urut di atasnya. Cara diskriminatif ini memangkas banyak peluang calon legislatif perempuan yang mendapat suara lebih banyak daripada calon legislatif laki-laki yang berada pada nomor urut kecil. (Buku Kompas, 2019).

Demikianlah terlihat bagaimana posisi perempuan dalam ranah politik negara ini. Minimnya keterlibatan atau tingkat partisipasi politik perempuan dalam lembaga ini bukan semata hanya terjadi di nasional saja tapi juga di tingkat daerah. Dari hasil penelusuran saya, menunjukkan bahwa tingkat representatif perempuan dalam lembaga legislative di wilayah Provinsi Jambi juga masih minim. Berikut saya tampilkan tabel terkait persentase keikutsertaan perempuan dalam pemilihan anggota legislatif di daerah Provinsi Jambi.

Sumber: Diolah dari
Sumber: Diolah dari "Jumlah Anggota DPRD menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin (Jiwa), 2018-2020 (Provinsi Jambi)", Badan Pusat Statistik (BPS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun