Pandemi Covid-19 yang sudah berjalan lebih dari 6 bulan membuat perekonomian terpuruk, dan Jakarta termasuk yang terburuk. Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta melaporkan pada bulan Agustus bahwa perekonomian provinsi ini mengalami kontraksi sebesar 8,22 persen (year on year) pada kuartal ke II tahun ini. Angka ini lebih buruk dari angka nasional, yaitu minus 5,32 persen.Â
Namun, bukan berarti Pemerintah DKI Jakarta tidak bisa berbuat apa-apa. Sektor properti masih bisa bangkit dengan cepat dan menggerakkan perekonomian dengan masif. Sebab, sektor ini masih mungkin berinvestasi di masa pandemi karena karakteristik model bisnis pengembang yang berorientasi jangka panjang.Â
Sebelum pandemi, Jakarta Properti Institute (JPI) memperkirakan ada sekitar 15 juta meter persegi yang dalam tahap perencanaan untuk dibangun di Jakarta. Jumlah ini mampu menyediakan sekitar 450.000 kesempatan kerja.Â
Selain itu, sektor properti juga bisa membantu pemenuhan kebutuhan hunian yang menjadi salah satu masalah akut Jakarta. Hal ini sesuai dengan semangat World Habitat Day 2020 yang akan dirayakan tanggal 5 Oktober ini dengan tema Housing For All: A Better Urban Future.Â
Namun, industri properti tidak bisa bergerak sendiri. Pemerintah DKI Jakarta harus memberi jalan agar industri ini bisa segera kembali memutar roda perekonomian.Â
Terobosan tata ruang adalah cara yang efektif dan bahkan menguntungkan pemerintah daerah. Kebijakan ini tidak membebani Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Selain itu, Pemerintah DKI bisa dengan cepat menerapkannya dengan efek yang masif karena karakteristik sektor properti yang memiliki multiplier effect luas. Menurut Real Estate Indonesia (REI), industri properti memiliki 174 industri terkait yang mempekerjakan lebih dari 30 juta pekerja di Indonesia.Â
Masalah Tata Ruang dan Perizinan
Keinginan pengembang untuk melanjutkan rencana pembangunan mereka masih tinggi, bahkan di kala pandemi. Ini akan terjadi kalau pemerintah bersedia melakukan terobosan tata ruang dan memperbaiki perizinan. Kedua hal tersebut adalah hambatan terbesar majunya industri properti di Jakarta.Â
Alasan utama terhambatnya pembangunan di Jakarta adalah kebijakan tata ruang yang membatasi. Hal ini tercermin dari pembatasan luas lantai bangunan yang tercermin dalam Koefisien Lantai Bangunan (KLB). Pembatasan ini membatasi penyediaan hunian dan berperan membuat mahalnya harga hunian di Jakarta. Akibat lainnya, pemanfaatan lahan yang sedianya bisa dibangun rumah susun malah tak optimal.
Sebenarnya ada mekanisme untuk para developer menambah KLB, yaitu dengan membayar denda. Namun, harganya terlalu mahal, bahkan lebih mahal dibandingkan membangun di atas lahan baru. Akibatnya, cara ini tak dipilih apalagi di saat ekonomi sedang lesu.
Perizinan untuk industri properti juga lamban. Ini ditandai dengan tahun lalu tingkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business) Â Indonesia ada di peringkat 73 dari 190 negara yang disurvei Bank Dunia. Satu proyek gedung tinggi, misalnya, memerlukan waktu paling tidak 21 bulan untuk mendapatkan Surat Izin Membangun (IMB), berdasarkan temuan Jakarta Property Institute tahun 2017.Â