Mohon tunggu...
Josua Iwan Wahyudi
Josua Iwan Wahyudi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Master Trainer EQ Indonesia sekaligus International Certified EQ Trainer dari Six Seconds USA yang aktif memberikan pelatihan untuk berbagai perusahaan & organisasi. Selain menjadi EQ Coach untuk Indonesial Idol 2012, 2014 & 2018, Josua juga aktif menulis dan telah menerbitkan 38 buku. jumpai beliau di www.shifthinknow.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ada Apa dengan EQ dan Gen-Y?

2 April 2015   11:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:38 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada bulan Februari 2014, saya menghadiri sebuah konferensi Kecerdasan Emosi (EQ) di Singapura. Peserta yang hadir mayoritas berasal dari Negara-negara di Asia Tenggara dan Australia.

Dalam sesi diskusi, ada salah satu topik yang cukup hangat dibicarakan, yaitu mengenai pergeseran tingkat Kecerdasan Emosi (EQ) para angkatan Gen-Y. Para peserta yang rata-rata adalah executive leader dari berbagai industry usaha dan juga praktisi yang bergerak dalam bidang konsultansi dan training, menemukan kenyataan bahwa angkatan kerja dengan usia di bawah 27 tahun (pada saat ini – tahun 2014), mengalami penurunan kompetensi EQ dibandingkan angkatan kerja di masa mereka.

Pembahasan menarik tersebut tentu saja tidak akan saya muat disini seluruhnya karena akan membuat artikel ini menjadi sangat panjang. Namun, setidaknya, hasil diskusi waktu itu mengakui bahwa ada 3 keluhan terbesar yang dilontarkan para leader perusahaan terhadap para karyawan Gen-Y, terutama para fresh graduate.

3 keluhan itu berbicara soal:

KEMANDIRIAN

Para angkatan kerja muda banyak yang lemah dalam hal inisiatif dan tidak bisa “bergerak” tanpa arahan dan SURUHAN. Memang, sebagai orang yang memasuki dunia baru (berpindah dari dunia mahasiswa menjadi dunia bekerja), adalah wajar jika kita mengalami “jet-lag”.

Namun, permasalahannya bukan di proses adaptasi, melainkan justru di faktor ketidakmampuan si pekerja muda ini untuk bisa dengan cepat belajar mandiri, memiliki ketangguhan untuk berhadapan dengan keadaan sulit dan tak nyaman, serta memiliki inisiatif untuk mengembangkan dirinya sendiri agar mampu memenuhi tanggung jawab yang diharapkan darinya.

Kebanyakan, yang terjadi di lapangan, banyak pekerja muda yang hanya bergerak jika disuruh, tidak tahu harus melakukan apa ketika instruksi tidak kunjung datang, dan mudah panik meminta pertolongan untuk hal-hal sepele yang seharusnya bisa mereka usahakan atau pelajari sendiri. (misalnya, membuat proposal umum sebuah event, membuat budgeting event kecil, mencari dan membuat perbandingan keunggulan-kelemahan vendor/supplier, dan sebagainya).

PROBLEM SOLVING

Problem solving disini bukan berbicara mengenai hal teknis semacam terjadi trouble pada software atau sesuatu yang berkaitan dengan teknologi dan alat. Problem solving ini justru lebih kepada permasalahan hubungan dan permasalahan mental.

Misalnya, ketika bertemu dengan atasan atau rekan kerjaatau pihak ketiga yang berbeda gaya komunikasi atau karakteristiknya. Contoh lain, ketika diberikan beberapa tugas sekaligus yang semuanya membutuhkan deadline secepatnya.

Kasus-kasus tekanan sosial dan emosional seperti inilah yang justru membuat banyak pekerja muda “paralyze” (lumpuh) dan seolah tidak tahu harus berbuat apa.

IMPULSE CONTROL

Impulse Control adalah kemampuan untuk mengendalikan diri, terutama dalam hal keinginan. Banyak leader yang mengeluh bahwa para pekerja muda era sekarang, lebih semaunya sendiri, tidak bisa “dipegang”, mudah berubah-ubah sesuai mood mereka, dan lebih tidak bisa diprediksi kemauannya. Itu sebabnya mereka menilai bahwa impulse control para angkatan Gen-Y cenderung rendah.

Sementara, dalam bekerja, kita dituntut untuk memiliki konsistensi dan stabilitas “mood”. Kita diminta untuk mengerjakan tanggung jawab kita entah kita sedang “pengen” atau tidak. Disinilah sebenarnya kematangan emosional seseorang bisa dilihat. Semakin besar tanggung jawabnya, semakin dibutuhkan kematangan emosional yang lebih besar.

LALU? SO WHAT?

Nah, untuk apa saya menulis artikel ini? Sederhana, bagi Anda para pencari kerja terutama dari kalangan Gen-Y dan fresh graduate. Pada saat Anda melamar kerja dan interview, Anda harus bisa menunjukkan bahwa Anda memiliki 3 kualitas yang saya jelaskan di atas.

Ketika Anda bisa meyakinkan perusahaan bahwa Anda memiliki 3 hal tersebut (dan memang benar-benar Anda memilikinya! Bukan sekedar berbohong), maka saya yakin peluang Anda untuk bersinar dalam karir Anda menjadi lebih besar dan lebih cepat.

Sedangkan bagi Anda para leader, jika Anda memiliki tim dengan Gen-Y di dalamnya, maka fokus Anda adalah melatih mereka pada 3 area tersebut. Temukanlah cara berkomunikasi dan metode untuk mengarahkan mereka memiliki kemandirian, mulai "terstimulus" untuk solutif, dan ajaklah mereka berpikir lebih jauh agar tidak dengan mudah dikendalikan oleh impuls mereka.

Bagaimanapun, fakta di lapangan sudah membuktikan, orang yang memiliki EQ di atas rata-rata selalu menduduki posisi Top Performer di nyaris semua organisasi.

Mari kita latih dan tunjukkan Kecerdasan Emosi kita!

Josua Iwan Wahyudi
Master Trainer EQ Indonesia
@josuawahyudi

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun