Mohon tunggu...
Joshua Sinaga
Joshua Sinaga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Bola

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah HAM di Indonesia

15 Desember 2022   21:50 Diperbarui: 15 Desember 2022   21:57 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Evolusi pemikiran hak asasi manusia di Indonesia telah ditandai dengan pasang surut, seperti yang dapat diamati dengan jelas dengan mengamati grafik periodik sejarah Indonesia mulai tahun 1908 dan berlanjut hingga saat ini. Dalam bentuknya yang paling mendasar, gagasan hak asasi manusia tidak hanya mencakup gagasan tentang hak asasi manusia individu tetapi juga kewajiban manusia yang menyertainya. Berikut adalah gambaran periode waktu perkembangan HAM di Indonesia:
1. Periode 1908-1945
2. Periode 1945-1950
3. Periode 1950-1959
4. Periode 1959-1966
5. Periode 1966-1998
6. Periode 1998-sekarang
Budi Utomo lahir pada tahun 1908, tahun yang sama dengan berbagai tulisan di majalah Goeroe Desa mulai menggugah kesadaran tentang pentingnya membentuk negara bangsa. Selama tahun 1908-1945, konsep pemikiran HAM diakui oleh bangsa Indonesia. Hal ini terutama sejak kelahiran Budi Utomo pada tahun 1908, yang juga merupakan tahun kelahiran Budi Utomo. Pemikiran yang berkembang dalam kaitannya dengan hak asasi manusia adalah konsepsi tentang hak kemerdekaan, dalam artian hak suatu negara merdeka untuk bebas menentukan jalan hidupnya sendiri (hak penentuan nasib sendiri). Namun, pembicaraan juga mulai terjadi tentang hak asasi manusia dalam ranah hukum perdata, seperti hak untuk bebas dari diskriminasi dalam segala bentuknya dan hak untuk bebas menyatakan pandangan dan keyakinannya. Bahkan gagasan bahwa warga negara berhak mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan pemerintahannya dikemukakan oleh Budi Utomo.

 Selama tahun 1959-1966, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden yang diterbitkan pada tanggal 5 Juli 1959, visi atau konsepsi demokrasi terpimpin Presiden Soekarno dilihat dari sistem politik yang sudah ada sebelumnya yang dikuasai oleh Presiden. Sistem politik demokrasi terpimpin tidak memungkinkan adanya kebebasan berserikat, berkumpul, atau mengeluarkan pendapat secara tertulis. Hal ini bermasalah jika dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia, khususnya hak sipil dan politik. Ide-ide tentang hak asasi manusia ditanggapi dengan larangan atau pembatasan yang ketat oleh penguasa pada saat negara beroperasi di bawah naungan demokrasi terpimpin. Akibatnya, pemikiran tersebut mengalami kemunduran yang berbanding terbalik dengan keadaan yang terjadi pada masa Demokrasi Parlementer.
Fase kelam dalam sejarah Indonesia terjadi antara tahun 1966 dan 1988, diawali dengan Pemberontakan G30S/PKI pada tanggal 30 September 1966 yang diikuti dengan situasi yang kacau. Ini membawa Indonesia kembali ke masa ketika sebelumnya pernah mengalami masa seperti itu. Supersemar dikeluarkan oleh Presiden Soekarno, dan menjadi landasan hukum perlindungan Presiden Soeharto terhadap Indonesia. Rakyat Indonesia sekali lagi berada dalam situasi dan kondisi yang genting di mana hak-hak asasinya tidak dihormati. Ini karena sikap mereka yang berada dalam posisi otoritas terhadap hak asasi manusia. Secara umum, keyakinan bahwa peradaban barat adalah sumber hak asasi manusia sangat lazim selama periode ini. Pada saat yang sama, Indonesia mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan semboyan "pembangunan" yang berarti bahwa setiap upaya pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dipandang sebagai penghambat kemajuan. Ini terjadi ketika Indonesia menggunakan slogan "pembangunan". Hal ini terlihat dari banyaknya produk hukum yang dikeluarkan pada masa ini, yang semuanya biasanya bersifat restriktif terhadap hak asasi manusia.
Pada pihak lain, masyarakat umumnya diwakili LSM dan kalangan akademisi berpandangan bahwa HAM adalah universal. Keadaan minimnya penghormatan dan perlindungan HAM ini mencapai titik nadir pada tahun 1998 yang ditandai oleh turunnya Soeharto sebagai Presiden. Periode 1966-1998 ini secara garis besar memiliki karakteristik tahapan berikut:
.Tahap represi dan pembentukan jaringan (repression and activation of network). Pada tahap ini Pemerintah melakukan represi terhadap segala bentuk perlawanan yang menyebabkan kelompok tertindas dalam masyarakat menyampaikan informasi ke masyarakat internasional. Konflik berdarah yang dimulai di Jakarta, ditandai dengan terbunuhnya pada Jenderal, disusul dengan munculnya konflik langsung yang melibatkan tentara, penduduk sipil serta orang-orang yang dianggap simpatisan PKI. Pembunuhan, baik dalam bentuk operasi militer maupun konflik sipil terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, dengan jumlah korban yang berbeda di tiap Provinsi. AD secara ressi menyimpulkan bahwa jumlah korban di seluruh Indonesia 78.000. orang.13 Ditengah-tengah keprihatinan akan runtuhnya supremasi hukum atas banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di periode ini, hasil pembentukan jaringan menampakan hasilnya dengan dibebaskannya hampir seluruh tahanan politik PKI pada tahun 1970-1979. Namun, tindakan represif Orde Baru tetap berlangsung terutama terhadap gerakan mahasiswa dan aktivis yang kritis terhadap pemerintah.
Tahap Penyangkalan. Tahap ini ditandai dengan suatu keadaan dimana pemerintah otoriter dikritik oleh masyarakat Internasional atas pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi, jawaban yang umumnya diberikan oleh pemerintah adalah bahwa HAM merupakan urusan domestik sehingga kritikan dianggap sebagai campur tangan terhadap kedaulatan negara. Tampaknya pada masa penyangkalan ini Pemerintahan Soeharto yang mendasarkan HAM pada konsepsi negara integralistik yang dikemukakan Supomo, yang tampaknya lebih mengedepankan kewajiban dibanding hak. Hal ini sebetulnya rancu, karena paham integralistik telah ditolak pada pembahasan naskah UUD, dan Supomo sendiri akhirnya menerima usul Hatta dan Muhammad Yamin untuk memasukan hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran ke dalam UUD.
Kritik internasional yang berlanjut atas berbagai pelanggaran HAM TimorTimur, kasus Tanjung Priok, kasus DOM Aceh, kasus Kedung Ombo, peristiwa Santa Cruz coba diatasi dengan membentuk Komnas HAM pada tahun 1993.
Tahap Konsesi Taktis. Pada tahap ini Pemerintah Orde Baru terdesak dan diterpa krisis moneter pada tahun 1997. Indonesia mulai menerima HAM internasional karena membutuhkan dana untuk membangun. Pada bagian lain kekuasaan Orde Baru mulai melemah, puncaknya terjadi pada bulan Mei 1998 yang diwarnai dengan peristiwa berdarah 14 Mei 1998. Demonstrasi mahasiswa yang terjadi secara besar-besaran telah menurunkan Soeharto sebagai Presiden.
Tahap penentuan. Banyaknya norma HAM internasional yang diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional melalui ratifikasi dan institusionalisasi. Beberapa kemajuan dapat dilihat dari berbagai peraturan perundang-undangan HAM yaitu diintegrasikannya HAM dalam perubahan UUD 1945 serta dibentuknya peraturan perundangan HAM. Pertanyaannya sekarang, apakah dengan memadainya instrumen hukum HAM dan institusionalisasi kelembagaan HAM, HAM telah menjadi suatu tatanan sosial dalam kehidupan bersama?
Pemahaman HAM sebagai nilai, konsep dan norma yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat dapat ditelusuri dengan mempelajari sejarah perkembangan HAM. Sejarah juga mencatat babakan-babakan penting mengenai pasang surut capaian penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM dalam suatu negara sehingga dapat dijadikan refleksi dan acuan bagi penyusunan kebijakan negara, dalam mewujudkan pembangunan berbasis HAM

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun