Mohon tunggu...
Josua Gesima
Josua Gesima Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S2

Seorang yang berkecimpung dalam Teologi, Filsafat, Ekonomi, Ekologi, dll.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Gejala Fanatisme dan Ekstrimisme (3)

18 November 2022   21:42 Diperbarui: 18 November 2022   21:54 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam ilmu pengetahuan perlu memasukkan postulat (asumsi), agar teori menjadi mungkin. Namun dalam perkembangan ilmu, postulat dianggap sebagai sesuatu yang memang semestinya ada seperti itu. Dalam ilmu pengetahuan tidak ada teori yang tidak berisi asumsi dan seringkali asumsi itu berdasarkan pilihan personal. 

Filsafat ilmu yang seringkali berpusat pada aspek formal sains, tidak memasukkan postulat. Serta konsepsi Kuhn juga tidak mempertimbangkan elemen personal pengetahuan sebagai dimensi konstitutif ilmu pengetahuan.

Sehingga ia menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan berkembang secara irasional. Padahal, personal tidak berarti irasional. Postulat dari ilmu pengetahuan yang digunakan ilmuan adalah alasan metodologis yang memungkinkan sains dan teori menjadi mungkin. Inilah ciri antropologis yang sering kali diabaikan bahkan dilenyapkan.

Ketika ilmuan mampu membangun imajinasi, menggunakan intuisi dan kesadaran dari pengalaman tanpa terkungkung pada segala aturan metode ilmiah, maka kosmologi akan menjadi mungkin. 

Kosmos (alam semesta) dibagi menjadi dua, yaitu kosmos (dengan k kecil) yang teramati dan Kosmos (dengan K besar) yang tidak dapat dijangkau pencerapan manusia. Kosmos adalah perkara penafsiran atas pengalaman yang tidak terucapkan dan seringkali didasarkan wahyu, sedangkan kosmos adalah pengetahuan yang berbasis pada data yang diperkuat melalui metode verifikasi/falsifikasi.

Masalah yang terjadi adalah apa yang diungkapkan tentang kosmos (data imiah) atau Kosmos dipengaruhi oleh penafsiran manusia.  Supelli menjelaskan bahwa segala jenis penafsiran adalah proses dialektika antara dugaan dan peneguhan, tanpa hasil defenitif karena selalu ada cara untuk membaca pengalaman. 

Penafsiran tidak disahihkan lewat data empiris, melainkan dengan menyandingkannya kepenafsiran lain yang adalah tandingannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun