Mohon tunggu...
Joshua Chandra Ariawan
Joshua Chandra Ariawan Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unika Soegijapranata angkatan 2018

Selanjutnya

Tutup

Film

Resensi Film "Ngenest", Cerita Menjadi Orang Cina ala Ernest Prakasa"

29 Oktober 2020   01:10 Diperbarui: 29 Oktober 2020   01:15 2096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ernest pun langsung lari ke rumah sakit dan akhirnya Meira pun melahirkan sebuah anak perempuan yang matanya sipit. Meski anaknya terlihat cina seperti ayahnya, Ernest tetap bahagia. Ernest siap untuk menerima anaknya dengan kondisi apapun dan memberinya kehangatan yang penuh untuk menyiapkan anaknya hidup di masa depan.

Ulasan Film "Ngenest"

Sebelum saya memberikan alasan ketertarikan saya terhadap film ini, Ernest sendiri telah mendapatkan beberapa penghargaan dari film ini. Selain menarik perhatian hingga 800,000 penonton lebih, film ini mendapatkan satu nominasi Piala Citra untuk kategori Skenario Adaptasi Terbaik. 

Ngenest juga sudah berhasil membawa dua penghargaan Piala Maya yaitu skenario adaptasi terpilih dan sutradara muda berbakat, lalu satu pengharagaan Festival Film Bandung, juga tiga penghargaan Indonesia Box Office Movie Awards.

Banyak unsur komedi disematkan disini, juga cerita cinta seorang Ernest yang mencari istri pirbumi. Menceritakan tentang masa kecil Ernest yang dibully karena ia Cina, pasti kejadian ini tidak semata-mata karangan Ernest, melainkan ini memang berdasarkan pengalamannya. 

Aktor-aktor sangat memerankan perannya dengan baik, emosi-emosi yang di alami dapat dirasakan penonton. Apalagi jika penonton merupakan seorang etnis Cina juga seperti saya, pasti juga pernah merasakan hal yang sama terjadi di kehidupan nyata.

Bisa dilihat bukan bahwa film ini merupakan film yang bagus dan sangat direkomendasikan untuk di tonton. Film ini sendiri sangat menarik bagi saya, karena saya sendiri juga merupakan seorang keturunan Tionghoa yang lahir di Semarang. Cerita di dalam film ini dapat mencerminkan steorotipe yang ada di Indonesia. Salah satu steorotipe yang tertanamkan pada saudara-saudara kita yang merupakan keturunan Tionghoa.  

Lagi pula memang banyak kasus kasus intoleransi terhadap warga keturunan Tionghoa di Indonesia. Banyak yang mengalami hal ini di Indonesia. 

Permasalahan minoritas ini sudah menjadi stigma pada masyarakat sejak jaman dahulu. Masa orde baru yang di pimpin Soeharto sendiri sudah melarang kebudayaan dan kepercayaan para saudara kita yang berketurunan Tionghoa. Larangan dagang, kegiatan keagamaan, kepercayaan, bahkan nama cina pun harus di ubah. Sampai-sampai masyarakat keturunan Cina di awasi oleh sebuah badan yang bernama Koordinasi Masalah Cina yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen. 

Puncak diskriminasi memuncak pada 22 tahun yang lalu, yaitu pada masa reformasi 1998. Masa turunnya bapak Soeharto. Kekerasan anti-cina benar-benar memuncak pada saat itu. Masyarakat etis Cina menjadi korban pemerkosaan, pembunuhan, serta banyak yang rumah dan tokonya di bakar.

Masa lalu biarlah berlalu, banyak yang berkata seperti itu. Namun kenyataannya para warga etnis Cina sendiri tidak lupa dengan peristiwa yang lalu itu. Steorotipe negatif terhadap etnis Cina masih ada dan juga warga etnis Cina yang mengalami kerusuhan Mei 1998 itu pun masih ada yang trauma. Karena itu film ini merupakan contoh kecil yang menarik, yang mana dapat memberikan contoh yang baik bagaimana kita harus saling menghargai walaupun berbeda etnis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun