Mohon tunggu...
Joseph Imanuel Setiawan
Joseph Imanuel Setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Joseph IS

Cerdas adalah mengenal diri dan menjadi dewasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Setiap Perempuan Bisa Teruskan Perjuangan Kartini

22 April 2021   10:57 Diperbarui: 22 April 2021   17:39 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara luas, emansipasi bermakna pembebasan dari perbudakan dan persamaan hak. Istilah emansipasi mulai dikenal di awal abad 20. Semenjak perang dunia, kaum perempuan mulai mengambil kesempatan di lini-lini yang ditinggal oleh para lelaki yang sedang berperang. Sejak saat itulah, kesetaraan di berbagai bidang mulai berkembang.

Di Indonesia  sendiri, emansipasi mulai dikenal dari buku yang merupakan surat-surat dari Kartini.  Sehingga setiap tanggal 21 April dikenang sebagai hari Kartini. Seperti yang sudah diketahui, Kartini dikenal dikenal sebagai pahlawan Nasional, khususnya di bidang perjuangan kesetaraan perenpuan. Kartini selalu memiliki keinginan untuk mengadakan perubahan, bukan merubah adat, tapi cara pandang adat, agar dapat membebaskan perempuan dari tuntutan-tuntutan yang membebani. Menurutnya, perempuan sebaiknya diberikan hak untuk memilih apa yang ingin mereka jalani.

Walaupun mimpi dari Beliau sudah tercapai sekarang, tapi ada hal-hal yang sebenarnya belum tercapai. Banyak makna-makna yang tersembunyi dari pemikiran tentang emansipasi, khusunya di Indonesia. Emansipasi yang sebenanya diperuntukan bagi terlaksananya kesetaraan di berbagai lini, sebaiknya jangan hanya fokus pada pendidikan dan pekerjaan, tetapi pada kesetaraan hak yang didapat. Dalam pelaksanaannya terkadang ada kekurangan, tapi ada juga yang justru kebablasan atau salah kaprah.

Banyak hal-hal lain yang masih tak sesuai tak sesuai dengan nilai-nilai yang sebenarnya diinginkan dari adanya sebuah emansipasi. Pandangan kesetaraan yang masih tak berjalan sesuai seharusnya masih banyak terjadi. Masih banyak hambatan-hambatan atau tembok pembatas agar kesetaraan itu dapat tercapai. Mungkin sering kali kita merasakan atau mendengar hal-hal ini. Terutama tentang masalah hubungan, baik pribadi maupun sosial, kesetaraan terkadang masih memiliki penghambat, terutama tradisi adat. Dari tradisi adat tersebut, berkembanglah pemikiran-pemiran yang tercampur juga dengan kebudayaan barat, sehingga terjadilah kompromi. Kompromi yang ada terkadang membuat kebingungan bagi orang-orang yang mengalaminya.

Pengetahuan dan pandangan yang didapat dari budaya barat tapi kemudian kontra yang diberikan oleh keluarga yang memegang adat, membuat kebanyakan orang menjadi bingung. Tapi memang yang harus disadari oleh setiap orang, kesetaraan bukanlah berarti melawan adat. Kesetaraaan lebih kepada pemenuhan hak setiap manusia, baik laki-laki atau perempuan, baik golongan A atau B.

Menurut saya ada beberapa anggapan atau stigma tentang kesetaraan tadi yang masih kurang tepat akibat dari kompromi yang ada

Kuat dan lemah

Stigma kuat dan lemah ini menempatkan perempuan sebagai pihak yang lemah. Entah dari mana stigma ini berasal, tapi yang pasti stigma ini sudah menyebar luas dan dipercaya. Tapi, peradaban zaman ini membuktikan kekeliruan stigma tersebut. Sebut saja, sekarang seorang atlet perempuan sudah sangat wajar, bahkan sudah diperlombakan secara internasional. Hal yang ekstrimnya, olah raga angkat beban pun sudah diperlombakan untuk perempuan. Jadi sebenarnya, perempuan tidak lemah kan?

Menurut saya, stigma ini muncul di peradaban kuno sampai modern. Dimulai karena memang tanggung jawab seorang laki-laki untuk bekerja dan mencari nafkah, berlanjut pada zaman perang. Perempuan yang saat itu dengan keaadaan terbatas karena dalam waktu-waktu tertentu harus mengalami haid, mengandung dan melahirkan, sampai kepada mengurus anak. Mungkin alasan-alasan inilah yang membuat perempuan tak diikutsertakan dalam peperangan.

Kerancuan antara lemah atau kuatnya perempuan membuat banyak orang sulit mengerti dan salah bertindak. Padahal, mungkin yang dimaksud lemah adalah secara emosional. Perempuan memang secara hormonal, memungkinkan adanya kenaikan dan penurunan emosi yang cukup derastis. Hal ini yang membuat perempuan dikenal sebagai pribadi yang sensitif dan perasa. Namun ini juga merupakan keuntungan bagi perempuan karena sudah belajar mengendalikan emosi sejak remaja. Sehingga terkadang, di kalangan usia kepala 2, perempuan bisa terlihat lebih dewasa secara emosional dari laki-laki.

Tapi walaupun memang secara fisik, laki-laki memiliki hormon yang memungkinkan memiliki masa otot yang lebih besar dari perempuan, tapi bukankah tenaga seseorang bisa dibandingkan dari berat badannya? Saya seorang yang kurus. Suatu saat di jalanan yang berbatu, saya berjalan dengan dua teman perempuan saya. Salah satu meminta saya memegangi nya karena takut jatuh. Tapi jika dilihat- lihat mereka memiliki badan yang  jauh lebih besar, tapi mungkin masih terbilang ideal dibanding saya yang kurus dan kurang ideal. Bukankah jika dia jatuh, saya pun akan ikut jatuh? Jadi sebenarnya kuat secara fisik sangat relatif dan dapat dilatih.

Selalu benar atau salah

Tradisi adat yang sedari dulu menempatkan laki-laki di posisi lebih tinggi dan sebaliknya membuat munculnya gagasan emansipasi wanita. Tapi tampaknya, kebiasaan dari setiap perempuan yang sudah terlanjur terbawa dengan tradisi adat. Di satu sisi, ada perempuan yang masih dianggap harus melayani suaminya saat sudah menikah,  yang membuat perempuan tak memiliki kebebasan. Di sisi lain, karena adanya tuntutan seorang laki-laki yang harus berjuang dan membuat keputusan saat akan memiliki hubungan, atau istilahnya 'mengejar', sehingga ada perasaan dari perempuan yang harus 'dikejar'. Paham ini jika terlalu berlarut-larut akan tak baik pula. Lama-kelamaan keadaan akan berbalik, seakan-akan laki-laki lah yang melayani perempuan, karena kebiasaan 'dikejar' tersebut terkesan seorang perempuan menuntut banyak hal kepada laki-laki agar diterima.

Berprofesi

Emansipasi wanita saat ini terkadang menjadi salah kaprah. Pengertian kesetaraan perempuan yang ada dinilai sekedar saat perempuan sudah bisa menempati posisi seorang laki-laki. Padahal seharusnya tak hanya seperti itu, kesetaraan harus dilihat dengan sudut pandang persamaan hak.

Yang terpenting sebenarnya bukan soal seorang perempuan bisa bekerja di satu perusaahaan atau menempati posisi yang tinggi atau juga bisa berbisnis sendiri. Tapi kesetaraan yang dimaksud bisa dimaknai dari kebebasan seorang perempuan untuk mengembangkan potensi dan bakatnya, bahkan menekuni passion/gairah nya. Sementara itu, ibu rumah tangga sebaiknya tak dipandang lagi sebagai profesi yang bisa dipilih. Pekerjaan rumah tangga sebaiknya dipandang sebagai tanggung jawab yang harus dikerjakan, bukan sebagai job desc. Tapi, karena itu adalah tanggung jawab, sebenarnya pekerjaan rumah tangga bisa dibantu oleh anggota keluarga lain, sebagai sesama penghuni rumah. Sehingga pekerjaan rumah tangga tak membebani seorang perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun