Mohon tunggu...
Josephine Winda
Josephine Winda Mohon Tunggu... wiraswasta -

membaca itu candybar dan menulis itu lollypop, yummy !.... googling me windascriptease ;)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pecah

19 Februari 2014   02:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:41 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="attachment_296196" align="aligncenter" width="500" caption="foto :doc pri. - kasongan"][/caption]

Dua hari ini Arini memecahkan barang - barang keramik yang ada dirumahnya. Yang pertama kemarin, ketika ia memecahkan sebuah pajangan berupa wadah koin berwujud Kitab Suci Al-Quran. Hiasan itu terdiri dari dua bagian. Wadah dan tutup. Pada penutup terdapat petikan ayat, “Dan apabila kamu menghitung ni’mat Allah, niscaya kamu tidak akan dapat menghitungnya” seperti tertulis pada Q.S. Ibrahim: 34. Wadah unik itu diberikan oleh sahabatnya, Hikmah.

Entah mengapa, kemarin ketika Arini membersihkan, tutup hiasan itu terasa licin di tangannya. Salah Arini juga, langsung membersihkan wadah dan tutup secara bersamaan. Seharusnya ia membersihkan satu - persatu. Wadah dulu atau justru tutup dulu. Mungkin karena tergesa dan malas dengan pekerjaan rumah tangga, ia mengangkat langsung kedua bagian itu dan mengusapnya dengan kain basah. Yang terjadi bagian tutupnya meluncur jatuh dari tangan. Pyaaaaaaaaar! Pecah berkeping. Ayat indah pelipur lara itu seakan hancur, musnah berantakan.

Malamnya ia bertengkar dengan Handriyo, suaminya. Bosan ia mengingatkan sang suami agar lebih ikhtiar lagi dalam mencari nafkah. Memang mereka sudah memiliki kedai nasi di pasar. Tetapi disebelah sudah dibuka kedai lain, demikian pula tetangga di bagian depan kedai mereka juga sudah bersiap membuka kedai makan berikutnya. Masakan yang dijual juga hampir sama, cita - rasa bersaing. Harga apalagi! Saling membanting dan memiting. Barang siapa mau langgeng lama, siap - siap saja jadi romusha di negeri sendiri.

Berulang kali Arini mengingatkan Handriyo agar membuka kedai lain, disudut yang lain dari pasar. Atau kalau perlu ke pasar yang berbeda dan membuka kedai baru. Usul lain yang disampaikannya adalah variasi menu yang lebih banyak agar pembeli tidak bosan. Tapi alasan penolakan Handriyo juga banyak. Buka cabang lain butuh biaya tak sedikit. Variasi masakan butuh juru masak yang lebih banyak dan mahir, sedangkan yang sekarang ada saja sudah bolak - balik minta ijin pulang kampung. Handriyo kadang terpaksa memasak sendiri, dibantu Arini. Kemudian keduanya kelelahan dan saling menyalahkan. Hidup memang tantangan, tapi apa harus seberat ini?

Malam itu Arini sudah muak, Handriyo apalagi. Baginya Arini hanyalah perempuan dengan banyak tuntutan. Sementara bagi Arini, ketiga anak mereka butuh makan dan uang sekolah. Mana mungkin berdiam diri, pasrah dan digerus jaman? Mereka bisa mati esok lusa, jika takdir, jika tak bertemu nasi. Namun bagaimana dengan anak - anak? Apakah tega membiarkan mereka jadi gelandangan? Belum lagi kisah seputar kehidupan anak jalanan, banyak hal mengerikan. Itulah alasan Arini memaksa sang suami agar lebih lagi dalam berupaya. Takdir pun butuh upaya, menampik atau mewujudkannya.

Pertengkaran itu membuahkan keduanya tak berbicara hingga pagi. Didepan anak - anak, mereka pura - pura saling bicara dan berlaku ramah. Padahal masing - masing sudah lelah. Lalu setelah anak - anak pergi sekolah dan Handriyo ke kedai di pasar untuk mengurusi bisnis mereka yang kembang - kempis itu, Arini lagi - lagi memecahkan barang ketika membersihkan rumah.

Awalnya ia ingin memasang hiasan berupa klinthingan lonceng warna biru di atas pintu kamar. Sebenarnya itu hanya hiasan biasa. Lagi - lagi Hikmah yang memberikannya pada Arini. Menurutnya Arini terlalu ngirit dan sederhana. Sudah berumah-tangga dan punya anak tiga, tetapi rumah mereka kering saja adanya. Tak ada nuansa kenyamanan dan keteduhan. Rumah itu bagai persinggahan yang tergesa, antara anak - anak yang tumbuh dewasa, ayah yang sibuk mengais rejeki dan ibu yang kelelahan menata rumah - tangga. Garing! Menurut Hikmah, tak ada salahnya Arini mendandani sedikit disana - sini. Lalu Hikmah memberikan dua benda itu, hiasan berupa Kitab Suci Al-Quran dan lonceng biru kecil.

Ketika lonceng terpasang, rupanya paku kurang kuat. Mendadak saja, pakunya lepas. Pyaaaaaaaaar, ... lagi - lagi barang pecah belah jatuh berantakan. Lonceng itu kecil saja, namun apik dan lucu. Arini tak ada sisa uang untuk membeli barang hiasan semacam itu. Semua yang ada hanya pas untuk hidup sehari - hari, makan dan biaya sekolah anak - anaknya yang tiga orang itu.

Sedih rasanya bagi Arini, ketika kedua hiasan keramik yang serba baru dan modern itu, satu - persatu jatuh dan pecah berantakan. Kapan lagi ia akan memiliki benda seperti itu? Pajangan yang tersisa kini hanya kalender jelek hadiah dari apotek di ujung gang dan patung kayu berbentuk ikan pemberian bibinya. Patung itu juga nyaris dibuang oleh sang bibi karena kuno dan jelek. Arini yang memintanya, lalu diberikan. Hanya itu barang - barang yang boleh dikata penghias rumahnya.

Hati Arini merasa tak enak, mengapa hiasan keramik baru dan modern tidak dapat bertahan lama di rumahnya. Apa penyebabnya? Mengapa pula keduanya pecah dan hancur berantakan dalam dua hari berturutan. Pertanda apa ini? Ibunya sering mengingatkan Arini tentang perhitungan 'hari baik'nya dengan Handriyo. Menurut sang ibu, pernikahannya dengan Handriyo takkan langgeng. Karena ada hitungan yang tak pas dalam tanggal lahir mereka. Arini kesal dan tak mengindahkan. Cinta, kok dihitung - hitung! Ini bukan matematika. Ketika itu demikian ia membantah dan marah pada ibunya.

Nyatanya ibunya benar, sekian tahun ia berumah - tangga dengan Handriyo, mereka tak maju sejengkal juga. Ketika rumah - tangga mulai berjalan, tiba - tiba saja anak pertama lahir. Ketika Handriyo mulai menggagas usaha kedai nasi dipasar, anak kedua lahir. Lalu ketika keduanya bersiap memperluas usaha, mendadak anak ketiga lahir. Perluasan usaha itulah yang tak pernah dilakukan hingga kini.

Keadaan menjepit pasutri Arini dan Handriyo. Sepertinya hidup tak memberi kesempatan keduanya untuk bernafas. Dari satu lompatan ke lompatan berikutnya tak ada jeda, yang ada hanya keterengahan yang melelahkan. Arini hilang akal bagaimana agar kedai atau cabang usaha berikutnya segera ada. Sementara Handriyo tandas tenaga untuk mengurus usaha dan memastikan juru masaknya selalu ada. Anak - anak bertambah besar dan biaya bertimbun mengantri minta perhatian.

Hari ini ketika lonceng biru itu pecah. Lagi - lagi Arini dan Handriyo bertengkar hebat, pasalnya Arini sudah menanggung malu di sekolah. Uang sekolah anak pertama dan kedua sudah menunggak dua bulan. Hanya uang sekolah anak ketiga yang mampu mereka bayar karena biayanya masih murah, duduk di taman kanak - kanak. Handriyo sendiri kian bosan dengan rengekan Arini dan masih mencari - cari apa yang dapat dilakukannya untuk menambal rejeki. Raungan kemarahan Arini membuat Handriyo pergi meninggalkan rumah malam itu.

Arini menangis terisak dalam kelam - malam, menyesali nasibnya. Apakah ini kutuk ibunya? Atau kebetulan semata? Atau orang lain juga mengalami permasalahan yang sama dalam kehidupan mereka? Tapi mengapa beban Arini terasa lebih membekap ketimbang orang - orang lainnya? Apakah ia lebih cengeng dari mereka? Atau mereka yang pandai berpura - pura tegar dihadapan banyak orang lainnya? Ingatan Arini melayang pada Hikmah, sahabat tempatnya mencurahkan segala hal.

Dengan galau gelisah dipencetnya sebuah nomor dan setelah beberapa saat sebuah suara menjawab, "Hallo,..."

Dilatar belakang suara Hikmah terdengar suara seorang lelaki yang mengatakan, "Aku mandi dulu, sayang..."

Lalu secepat kilat, didengarnya pula suara Hikmah tanpa sadar menghardik si lelaki, "Ssssttt diam!... Ini...dia yang menilponku."

Dan kemudian Hikmah kembali bicara padanya, "Hallo...Arini?"

Astaghfirullahaladzim,...Dengan cepat Arini mematikan teleponnya. Hatinya berdebar kencang. Ia masihberusaha mengurai nalarnya tentang suara lelaki yang ia dengar sedang bersama Hikmah itu. Ia masih berusaha menyangkal bahwa ia mengenali benar suara lelaki itu. Airmatanya terus mengalir deras. Kini iatahu makna dari pajangan - pajangan pemberian Hikmah yang pecah berantakan, berturutan. Tentangayat yang memintanya menghitung nikmat. Tentang lonceng biru yang memberikan tanda peringatankelabu.

Astaghfirullah,...jika Handriyo pulang, pertengkaran apalagi yang akan mereka berdua hunjukkan?

Pyaaaaaaaaar...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun