Mohon tunggu...
Josephine Joy
Josephine Joy Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran

our so-called modern education system sucks. opinions are cheap. hard work is overrated. luckily, I read.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perpetual Peace...?

2 Mei 2020   23:15 Diperbarui: 21 Juni 2020   02:41 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perdamaian abadi?

Mana ada...

Ada sih, tapi ntar tunggu mati dulu!

Iya kalo masuk surga hahaha.

Jangan gila, ah.

Percaya atau tidak (percaya saja oke?), sebagian besar makhluk berakal budi---entah yang merupakan keturunan Nabi Adam, yang telah berevolusi menjadi homo sapiens, atau keduanya, terserah---ketika diminta untuk sedikit merenungkan soal-soal perdamaian atau perdamaian abadi, mereka cenderung mengisyaratkan sikap pesimis dan malas berpikir. Ibarat lagi bertamu ke rumah sanak saudara nan jauh di kota yang berbeda, saat tiba makan malam bersama dan entah kenapa alur pembicaraan menjurus pada persoalan tentang mantan, mereka sekonyong-konyong mengalihkan pembicaraan karena merasa ogah betul dan tidak tertarik sama sekali. Bercanda sayang.

Perdamaian, perdamaian dunia, perdamaian abadi. Entah kenapa hal-hal ini menjadi topik yang tidak menarik dan kurang diminati. Seolah-olah topik ini tidak lebih dari proyek omong kosong belaka. Sementara di sisi lain, kita berlomba-lomba mendiskusikan, membicarakan, mengkaji perang-perang yang terlihat begitu seru dan menantang. Bahkan dalam ilmu hubungan internasional, terdapat strategi dan seni dalam berperang yang menjadi salah fokus kajiannya. Kerap kali kita mendengar ungkapan bahwa manusia itu pada dasarnya memang serakah, hanya mementingkan diri sendiri, animus dominandi, dan lain-lain. Selanjutnya, pendapat tersebut kita terima, setujui, dan pada akhirnya kita ridai. Bercanda sayang.  Maafkan pendapat saya, tapi (lagi-lagi) entah kenapa kita justru terkesan "pasrah" saat label tersebut menempel di atas wajah kita. Mungkin inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa kita amat pesimis dengan konsep-konsep atau ide-ide ambisius untuk mencapai perdamaian abadi. Sejauh ini, dari apa yang saya perhatikan, kita hanya mampu menyatakan bahwa perdamaian tidak lain semata utopia belaka. Hanya angan. Hanya ada dalam lagu "Imagine"-nya sang legendaris, John Lennon.

If there's peace, you're preparing for war. And if there's war, you're preparing for peace. Demikian tutur Morgan Freeman. Keren sih, tapi kami memilih untuk tidak setuju. Nanti  akan dijelaskan kenapa. Meski hidup penuh perjuangan dan tidak pernah berhenti dilanda cobaan, setidaknya anda perlu bersyukur telah dilahirkan di zaman yang modern ini. Dimana begitu banyak kemajuan telah berhasil dicapai manusia yang semakin mengarah pada kebajikan.

Pasalnya, memang dunia terus bergerak menyisir jalan-jalan yang membawa kita pada hidup yang semakin enjoyable. Hidup yang semakin damai. Aneksasi wilayah? Eits, tidak semudah itu lagi, ferguso. Bahkan sejak awal abad ke-20 sudah banyak ahli yang sadar dan memperingati kok. Sebut saja Norman Angell, seorang idealis liberal, dalam bukunya The Great Illusion (1909) mengatakan bahwa di zaman modern penaklukan wilayah sangatlah mahal dan secara politis sangat merugikan sebab hal itu sangat mengganggu perdagangan internasional. Jadi boleh saja dibilang modernisasi dan interdependensi menimbulkan suatu proses perubahan dan kemajuan yang mengubah perang dan penggunaan kekuatan semakin diabaikan. Semakin diabaikan ya, bukan sirna.

Kecemasan berlebih soal pengembangbiakan nuklir oleh negara nakal dan dorongan-dorongan agar dapat pula menguasai nuklir yang diterima negara seperti Saudi Arabia dan Turki, hingga serangkaian ancaman bagi keamanan internasional lain memang tidak dapat disangkal eksistensinya. Namun, kami rasa terlalu berlebihan dalam menilai dan mengambil tindakan merupakan tindakan yang kurang pantas pula. Hal ini dikarenakan bila kita berhasil melihat dari sudut pandang lain, maka kita justru akan menemukan secercah harapan baru yang setidaknya lebih baik dibandingkan ujug-ujug memelihara perasaan cemas saja. Duh gangerti!

Di kebanyakan situasi, senjata-senjata nuklir malah sering kali tiada gunanya. Dengan pemikiran posistif, penguasaan senjata nuklir menurut sebagian kalangan cenderung mendorong kehati-hatian, bahkan kenegarawanan, berdasarkan pada rasa keamanan dan kebanggaan nasional yang mereka hasilkan, daripada adventurisme nuklir yang sering kita bayang-bayangkan. Misalnya nih, Waltz (2012) pernah menyatakan kalau penguasaan nuklir oleh Iran justru akan mendorong stabilitas di Timur Tengah karena Iran dan Israel akan saling mencegah satu sama lain, tanpa memunculkan tekanan pada negara-negara lain di kawasan tersebut untuk ikut-ikutan membangun kekuatan nuklir. Silahkan pilih perspektif yang ingin anda gunakan.

Nah, berikut kiat-kiat yang dapat diimplementasikan untuk mencapai perdamaian abadi:

  1. Jangan pernah membuat perjanjian setelah perang dengan syarat-syarat yang menimbulkan perang lagi di masa depan. Kalau ingin benar-benar damai, mbok ya setuju aja untuk berhenti berkonflik. Titik!
  2. Stop memperjualbelikan negara, dasar imperialis!
  3. Singkirkan tentara-tentara. Kalau semua negara tidak memiliki tentara, tentu kita tidak perlu melindungi diri dari apapun. Ya kan?
  4. Berhenti meminjam uang dari negara lain kalau anda ingin damai tercapai, huh.
  5. Hentikan keterlibatan militer dalam pemerintahan. Tidak usah tanya kenapa.
  6. Jika benar-benar harus berperang, maka berperanglah dengan hormat. Lakukan dengan benar!

Anda terkejut dan merasa hal-hal di atas tidak realistis? Bersyukurlah karena tandanya anda masih waras. Benar, gagasan yang konyol. Tapi, tidak sepenuhnya konyol kan?! Hehe. Bicara soal perdamaian abadi tak akan pernah komplet selagi belum menyinggung esai fenomenal yang diterbitkan tahun 1795 karya filsuf Jerman Immanuel Kant yakni Perpetual Peace.

Kant dalam Perpetual Peace setidaknya melontarkan beberapa gagasan yaitu orang-orang harus menemukan sebuah pemerintahan. Lalu, pemerintahan harus menjadi sebuah Republik. Dalam Republik, kekuatan membuat Undang-Undang dan mengelola hukum harus dipisahkan. Menjadi sulit untuk berperang karena orang-orang harus setuju terlebih dahulu dan harus ikut membayar biaya perang. Tidak hanya itu, negara-negara harus bersatu membentuk liga sebagaimana orang-orang bersatu membentuk pemerintahan. Kemudian, negara-negara tersebut pun harus mematuhi hukum tertentu. Negara bisa otonom sebagaimana manusia otonom terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itu, membentuk pemerintahan dunia yang super raksasa adalah hal yang konyol.

Yang terakhir adalah filantropi. Kita wajib menghormati hak-hak orang lain. Yang dimaksud Kant disini bukanlah kegiatan beramal, namun sebatas penghormatan dasar atas martabat manusia. Semakin manusia saling memahami satu sama lain, maka Kant mengatakan akan semakin kecil kemungkinan untuk saling berperang. Pada akhirnya, perdamaian diantara bangsa-bangsa harus dimulai dengan perdamaian antar manusia. Inilah kemudian mengapa kami kurang setuju dengan pernyataan Freeman. Terlalu taktis sehingga cenderung melupakan pentingnya nilai-nilai lain dalam kehidupan manusia.

Percayalah dunia kita saat ini sedang membaik. Selama dua puluh tahun ke belakang, jumlah orang yang berada dalam kemiskinan ekstrim telah berkurang setengah banyaknya. Delapan puluh persen wanita yang tinggal di negara berpenghasilan rendah telah mampu menyelesaikan sekolah dasar. 87% populasi dunia telah memiliki akses listrik. Selama abad ke-19, angka kematian bayi sebelum mencapai lima tahun begitu besar yakni 44%. Hari ini, angka tersebut telah turun hingga 4%. Gagasan perdamaian abadi mungkin sudah berhasil membuat telinga dan kepala anda mendidih. Tidak apa-apa. Setidaknya kini kita menyadari pentingnya jalan berpikir yang berbeda, tidak melulu harus sama dengan orang lain. Perdamaian abadi bukannya tidak mungkin untuk dicapai, setidaknya setelah kita berhasil membuang rasa cemas dan ragu terhadapnya.

Referensi:

  1. Heywood, A. (2014). Politik edisi ke-4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
  2. Jackson, R., Sorensen, G., & Moller, J. (2019). Introduction to international relations: theories and approaches. Oxford University Press, USA.
  3. Maranges, T. Immanuel Kant's "Perpetual Peace:" A Summary. Retrieved from Philosophy Bro: 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun