Mohon tunggu...
Joseline Panduwinata
Joseline Panduwinata Mohon Tunggu... Freelancer - Yosi

Please kindly read my blogs :)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hoaks di Internet Dapat Menyebabkan Perpecahan?

19 Mei 2019   16:35 Diperbarui: 19 Mei 2019   16:51 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berita palsu atau berita bohong atau hoaks (bahasa Inggris: hoax) adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya (https://id.wikipedia.org/wiki). Akhir-akhir ini banyak sekali hoax yang bertebaran di internet, apalagi didukung kenyataan bahwa saat ini adalah era globalisasi dimana media sosial sudah merupakan salah satu bagian terpenting bagi hidup kita. Seakan-akan kita selalu merasa diwajibkan untuk membagikan segala sesuatu yang terjadi di dalam hidup kita setiap harinya, melalui Whatsapp, Line, Instagram, Facebook, Snapchat, dan berbagai media sosial lainnya.

Sebenarnya, media sosial merupakan sarana yang sangat memudahkan kita untuk saling berbagi informasi, dan mendapatkan banyak berita baru. Namun, apa jadinya apabila informasi-infomasi yang kita baca ternyata salah? Apa jadinya kalau ternyata itu hanya rekayasa belaka?

Banyak yang mengatakan bahwa kita tidak boleh mudah percaya terhadap segala sesuatu yang tersebar di internet, sebab kita tidak bisa tahu pasti kebenaran yang ada di baliknya. Perkataan tersebut memang benar adanya, kita hanya melihat apa yang ada di layar ponsel pintar kita, tetapi kita tidak tahu kejadian di belakangnya bukan? Contohnya adalah pada kasus yang menimpa mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, atau kerap kali disebut Ahok. Sesaat sebelum dilaksanakannya pemilihan umum pada tahun 2016, tersebar sebuah video yang menunjukkan dirinya ketika berpidato di Kepulauan Seribu pada tanggal 30 September 2016 dan beliau dianggap melakukan penistaan terhadap salah satu agama.

Sesaat setelah video tersebut tersebar di internet, langsung saja ribuan pengguna internet di Indonesia segera memberikan berbagai jenis komentar terhadap tindakannya. Tidak hanya bermasalah pada pengadilan saja, tetapi video tersebut juga membuat warga melakukan berbagai demonstrasi sebagai bentuk desakan masyarakat yang menuntut agar pengusutan terhadap kasus Ahok yang diduga telah melakukan penghinaan salah satu agama segera dilakukan.

Puncaknya terjadi pada tanggal 4 November 2016 di Jakarta, dimana demo tersebut mengakibatkan kurang lebih 350 korban terluka dan kelelahan. Walaupun Ahok telah bersedia untuk melakukan pemeriksaan polisi beberapa kali serta telah melakukan permintaan maaf secara terbuka kepada masyarakat, tetapi gerakan massa kian masif sehingga pihak kepolisian menganggap hal tersebut sebagai gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Akhirnya, Ahok pun dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan divonis 2 tahun penjara.

 Namun, setelah hukuman tersebut diberikan, justru muncul kasus terbaru lain yang berkaitan dengan kasus tadi, yaitu mengenai Buni Yani. Beliau merupakan salah satu pihak yang dianggap telah mengunggah dan menyunting keterangan video mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016, sehingga dianggap telah melakukan provokasi. Beliau akhirnya dijerat pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan dihukum 2 tahun penjara serta denda Rp 100 juta atau diganti dengan 3 bulan kurungan.

Kasus tersebut membuktikan bahwa berita yang sudah tersebar luas di internet pun belum tentu benar. Kasus Ahok membuktikan bahwa masyarakat Indonesia masih banyak yang mudah terprovokasi oleh berita di media sosial, apalagi ketika berita tersebut sudah menjadi viral. Kebanyakan masyarakat tidak memilih untuk memeriksa kebenaran dan sumber dari berita tersebut, melainkan langsung mempercayai dan segera menyebarkannya kepada teman-temannya di dunia maya.

Hal inilah yang membahayakan dan dapat menjadi boomerang bagi bangsa Indonesia sendiri. Seperti dilihat dari kasus yang menimpa mantan Gubernur DKI Jakarta, Ahok, bahwa dari suatu berita yang diunggah di internet pun dapat menyebabkan demonstrasi besar-besaran dimana-mana. Tak hanya di dunia nyata, tetapi perang di dunia maya pun sering terjadi untuk membela kubu masing-masing. Tak pelak hal tersebut sering menimbulkan perselisihan yang berakhir pertengkaran karena perbedaan pendapat. Padahal, bangsa Indonesia sendiri memiliki semboyan, Bhinneka Tunggal Ika, dimana seharusnya masyarakatnya terbuka untuk menerima perbedaan yang ada, bukannya justru bersikeras mempertahankan pendapatnya dan memusuhi orang lain yang tidak sependapat dengannya.

Selain kita tidak boleh mudah dalam mempercayai berita yang tersebar di internet, kita juga harus berhati-hati dalam menyebarkannya. Sebab, saat ini telah ada pasal dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai penyebaran berita bohong, yaitu pada Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yang berisi:

"Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar."

Selain itu, pada Pasal 390 KUHP juga mengatur hal yang serupa, dimana berbunyi sebagai berikut:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun