Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Skor CPI Rendah, Tak Hanya Diperlukan OTT Tetapi Juga Penanaman Nilai Anti Korupsi

27 November 2020   13:10 Diperbarui: 27 November 2020   16:06 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Korupsi (Kompas.com)

Korupsi berasal dari bahasa latin Corruptio yang artinya suatu perbuatan yang busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral menyimpang dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.

Menurut UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001, pelaku korupsi (baca: koruptor) didefinisikan sebagai setiap orang yang secara sadar melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri/orang lain/suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.

Tindakan korupsi hadir dalam bentuk yang beragam, mulai dari menyalah gunakan sarana yang ada padanya karena jabatan/kedudukan, menggelapkan uang, sampai menerima hadiah atau janji karena kewenangan/kekuasaan jabatannya.

Pelakunya pun beragam, mulai orang per orang, pegawai negeri kelas "teri", ahli bangunan, hakim, hingga kasus yang belakangan banyak diperbincangkan, tersangka kasus korupsi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo.

Penetapan Edhy Prabowo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi pembicaraan hangat lantaran kasus ini terjadi di masa pandemi covid-19. Dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait perizinan tambak, usaha, atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan yang melibatkan pejabat negara sekelas menteri dirasa sangat melukai masyarakat yang saat ini sedang kesulitan akibat pandemi covid-19.

Namun tentu saja, tindakan korupsi apa pun bentuknya, tidak pernah pantas dilakukan di waktu kapan pun juga. Satu tindakan korupsi yang terjadi, dampaknya tidak hanya mengganggu efektivitas program pemerintah, tetapi lebih dari itu, merusak moral suatu bangsa dengan menggerogoti nilai-nilai tanggung jawab, kejujuran, disiplin, sederhana, kerja keras dan sebagainya.

Peraturan Perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah muncul sejak 54 tahun silam melalui Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat No.PRT/Peperpu/013/1958.

Berbagai tim bentukan Pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi pun terus bermetamorfosa, mulai dari Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2000-2001), Komisi Pemberantasan Korupsi (2002-2003), hingga Tim Koordinasi Pemberantasan Tipikor (2005), Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (2009). Namun hingga saat ini, korupsi masih tumbuh subur di negeri ini.

Tahun lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan UU terbaru tentang KPK. Pengesahan yang dilakukan dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (17/9/2019) ini merupakan pengesahan revisi atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Pengesahan UU KPK ini pun memunculkan polemik soal isu pengkerdilan KPK. Dengan adanya UU KPK ini, banyak pihak menilai akan makin menyuburkan tindak korupsi karena KPK dianggap kehilangan independensinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun