Dalam kehidupan pernikahan antara suami dan istri, hal yang tidak boleh diabaikan adalah soal membangun "trust". Secara sederhana "trust" berarti sikap saling percaya antara suami dan istri.
Seorang pria yang menaruh "trust" meyakini bahwa sang istri adalah seorang yang sabar dan memiliki cinta kasih yang besar. Seorang wanita yang menaruh "trust" meyakini bersama suaminya ia akan memiliki masa depan yang baik dan indah.
Seorang suami yang dapat dipercaya, setiap perkataan dan janjinya akan dipegang teguh oleh sang istri. Sedangkan istri yang dapat dipercaya, akan memelihara cinta dan kesetiaanya hanya pada sang suami.
Tanpa ada "trust" di antara suami dan istri, maka akan selalu muncul rasa curiga dan dapat menjadi sumber percecokan yang tak berujung. Tanpa ada "trust" antara suami dan istri, maka tinggal menunggu waktu, kehidupan pernikahan akan berakhir pada perceraian.
Namun membangun "trust" antara suami dan istri tidaklah semudah mengatakannya. Ada banyak faktor ternyata yang mempengaruhi seseorang sulit untuk "trust" dan bahkan sulit untuk dipercaya.
Kesalahan pada diri pasangan yang pernah terjadi di masa lalu, dapat menjadi faktor sulitnya kembali menaruh "trust" di kemudian hari.
Seorang suami yang pernah melakukan kesalahan fatal di masa lalu, akan membuat istri membangun citra suami yang tidak bisa lagi dipercaya. Jika kesalahan di masa lalu itu benar-benar tidak tuntas diselesaikan, maka akan ada luka-luka batin yang terus membekas dan sulit dilupakan.
Meskipun suami sudah benar-benar mengakui kesalahannya dan berjanji akan memperbaiki diri, namun harus ada peran aktif siswa untuk membangun kembali "trust" yang sempat rusak.
Dalam hal ini, istri harus menyelesaikan luka batin yang dialaminya. Seorang istri harus memahami bahwa "tidak ada gading yang tak retak" dan dengan rendah hati memulai kembali dari "nol" agar "trust" dapat kembali tumbuh.
Kesalahan-kesalahan yang dialami pada masa kecil juga dapat berperan sulitnya seseorang menaruh "trust" pada pasangannya.