Kakiku gemetar, melihat seekor ular besar yang tak juga beranjak dari hadapanku. Aku terpaku. Bibir kelu. Ingin berlari, namun begitu takut kalau ular itu akan mengejar dan membelitku.Â
Lama kelamaan, tubuhku tak lagi bisa ditopang kedua kakiku. Aku terduduk, berharap ular itu segera menyingkir dari hadapanku. Dalam hati, rangkaian doa terpanjatkan kehadirat Ilahi. Hatiku benar-benar kalut. Tak ada seorangpun di sekelilingku. Air mata pun perlahan membasahi pipi.Â
Kupejamkan mata sejenak. Kuhirup udara perlahan dan kuhembuskan pelan. Kuberanikan untuk menatap ular itu. Ketakutan yang sedari tadi menyelimutiku, perlahan hilang. Ular itu menjauhiku, sesekali berhenti, seolah memastikan kalau aku masih ada di tempatku semula.
Hatiku lega dan hangat. Kepanikan tak lagi kurasakan. Hingga kudengar suara lirih memanggil namaku.
"Lintang..."
***
Aku terduduk di atas ranjang. Stretching sebentar, sebelum akhirnya aku keluar dari kamar. Ibu membangunkan aku. Selepas pulang kerja, aku tidur dan bermimpi buruk. Karenanya tak akan kukatakan kepada siapapun perihal mimpi itu.
"Ayo ke rumah Eyang, Lintang," ucap Ibu, saat aku keluar dari kamar.Â
"Aku salat Asar dulu, Bu."
Aku bergegas ke kamar mandi untuk mandi dan berwudhu. Aku sudah janji kepada Ibu untuk mengantarnya ke rumah Eyang sore ini. Sepupuku mau dilamar kekasihnya. Tempatnya di rumah Eyang karena memang dia dan Budhe Tiana tinggal di sana. Sedangkan Pakdhe Mail sudah lama berpulang ke pangkuan Ilahi.