Sudah menjadi hal lazim ketika bulan Syawal, banyak trah atau instansi yang menyelenggarakan syawalan. Hari ini, saya dan seluruh guru beserta karyawan se-kapanewon Karangmojo mengikuti syawalan. Kemudian agenda hari Jumat juga masih ada syawalan Gugus SD Negeri Ngawis.
Istilah syawalan ini sendiri berasal dari kata Syawal, sebuah nama bulan kesepuluh hijriah dan merupakan tanda berakhirnya bulan Ramadan. Kegiatan syawalan ini dilaksanakan untuk menyambung tali silaturahmi dan melebur dosa yang tertumpuk karena ujaran ataupun perbuatan, baik yang sengaja ataupun tidak disengaja.
Syawalan menjadi sebuah tradisi yang masih dipelihara meski terkadang tidak semua anggota keluarga atau anggota instansi mengikutinya. Tentu saja dengan beragam alasan. Maklum saja, terkadang ada acara serupa yang diselenggarakan secara bersamaan atau alasan kesehatan yang tidak memungkinkan untuk hadir dalam acara tersebut.
Syawalan dengan teman kantor atau tempat kerja sangat lumrah dan sulit untuk diabaikan. Ini berkaitan dengan usaha individu yang bersangkutan dalam menjaga nama baik di lingkungan di mana dia mencari nafkah.
Hal lain yang bisa dimaknai dari syawalan adalah fungsinya sebagai fase "after party" yang sifatnya reflektif karena awal bulan Syawal atau lebaran biasa disibukkan dengan menu makanan istimewa, pakaian lebaran, bertamu atau menerima tamu. Aktivitas awal itu bisa dikatakan sebagai aktivitas singkat dan penuh formalitas karena tujuan bermaaf-maafan sudah tercapai. Maka tidak ada salahnya jika makna syawalan bisa lebih dari itu.
Kita bisa cermati setiap mengikuti syawalan, maka selalu disisipkan ikrar syawalan dan mengundang ustadz atau penceramah. Ikrar syawalan biasanya dipimpin oleh salah satu panitia yang ditunjuk dan ditirukan oleh semua peserta syawalan. Intinya semua yang terlibat dalam acara syawalan tersebut memiliki niat untuk sama-sama saling memaafkan dan berdoa untuk diampuni segala dosa dan khilafnya.
Sementara, ustadz atau penceramah yang diundang dalam acara syawalan ini memberikan dan mengingatkan agar bulan Syawal menjadi momentum untuk melanjutkan amalan-amalan baik di bulan-bulan berikutnya, termasuk menjaga sikap dan ucapan di manapun, baik dalam berkeluarga, dan menjalin hubungan dengan masyarakat. Jika syawalan di dalam lingkup instansi kerja, maka ustadz atau penceramah bisa memberikan suntikan motivasi untuk bekerja lebih baik, diniatkan untuk ibadah dan mendapatkan ridho Allah.
Sebagai manusia, memang tidak lepas dari konflik, karena kodratnya memang memiliki kekhilafan. Maka syawalan bisa dijadikan sebagai ajang "reset sosial" di mana ada rekonsiliasi antar anggota keluarga, teman kerja, bahkan antara atasan dan bawahan karena dalam kegiatan syawalan ini semua lebur dalam suasana kekeluargaan.