Saya pernah mendapat kiriman chat dari salah satu orang tua yang mengatakan bahwa anaknya sekarang lebih tertib. Kenapa bisa begitu?
Ya seperti yang saya katakan bahwa guru adalah senjata sakti untuk menghadapi anak. Tak hanya di waktu modern ini. Bahkan sejak dulu, guru adalah sosok yang hampir dipastikan menjadi suri tauladan. Ucapan guru pasti diperhatikan anak.
Cerita lain dari ibu dari siswa yang membaca iqra'-nya belum lancar. Tadinya sudah masuk jilid 6 (jilid terakhir dan bisa lanjut membaca Alquran), sekarang si anak diturunkan ke jilid 5.
"Saya pingin anak saya lancar membacanya, Bu. Makanya saya bilang ke anak saya kalau Bu guru yang menyuruh untuk menurunkan ke jilid 5. Barulah anak saya nurut."
"Saya jadi senjata ya, Bu." Saya membalas chat si ibu tadi.
"Hehhe...iya, Bu. Maaf."
"Ya, nggak apa-apa. Yang penting ananda nanti lebih lancar membaca ketimbang cepet selesai iqra' jilid 6 tapi bacanya keliru."Â
Pengalaman yang sama saat saya, yang notabene guru, dalam mendidik siswa. Ternyata bagi anak saya bukanlah guru. Marah sering dilampiaskan kepada saya saat dia kesulitan menulis huruf Hijaiyah. Maklum anak saya bersekolah di sekolah swasta Islam.
Ajian senjata saya ya hanya sedikit "membohongi" anak.Â
"Bu guru tadi WA ibu, biar kamu segera menyelesaikan tugas. Temanmu yang lain sudah menyetorkan tugasnya."
Tentu saja saya tak menunjukkan WAnya karena memang tak ada WA dari guru yang memberikan tugas. Namun terkadang anak saya pingin juga membaca langsung chat dari gurunya.