Jika berbicara tentang pasangan, terkadang bisa membuat sensitif atau malah bahagia. Mengenang masa perkenalan, lalu putus di tengah jalan, terkadang membuat kecewa berat. Meski kadar kecewa itu bisa berkurang seiring berjalannya waktu.
Nasib lain, ketika bertemu dengan sosok yang nyaman dan merasa cocok satu sama lain maka bisa berlanjut ke jenjang yang lebih sakral, pernikahan.
Saya sendiri merasa tak dijodohkan meski terbersit bahwa ada orang yang berjasa atas pertemuan saya dengan suami dulu. Tak lain, saudara saya, mbak Win, yang dulu sekolahnya membutuhkan guru IPS. Saya pun menyanggupi berwiyata bakti di sekolah itu.
Di sana saya dipertemukan dengan sosok lelaki sederhana. Meski jarang berkomunikasi sebenarnya. Namun ya namanya jodoh, tak dicaripun akhirnya ketemu juga. Sudah digariskan oleh Sang Pencipta bahwa kelahiran, rezeki, kematian. Manusia tinggal menjalaninya.
Jujur, ketika berwiyata bakti di sekolah itu tak ada niat mencari jodoh. Belum mikir. Namun atas kehendak Sang Pencipta, ada cinlok juga di lingkungan sekolah.Â
Kalau dulu cinlok itu lebih familiar untuk hubungan dua artis yang sering bertemu di lokasi syuting. Namun saya sendiri menyebut hubungan kami dulunya juga cinlok.
Meski menjalin hubungan, tak banyak rekan guru dan karyawan yang tahu akan status kami. Ya... beberapa bulan kami merahasiakan hubungan kami. Sampai akhirnya kami membuka diri saat Persami.
Lelaki yang dekat dengan saya kebetulan menjadi pembina Pramuka. Saya hanya janjian dan diajak ke lokasi perkemahan.
Agak grogi juga. Apalagi sorak sorai para siswa yang berkemah menyambut kedatangan kami. Saat itulah hubungan yang kami rahasiakan mulai terbuka.
Lalu bagaimana reaksi mbak Win?
Kebetulan mbak Win sudah rolling tugas di sekolah lain. Mbak Win mengetahui hubungan kami malah terakhir. Itupun setelah proses pernikahan sudah dekat. Sudah lamaran dan undangan pernikahan sudah didistribusikan.