Menjadi ustadz yang cukup jam terbang seperti saat ini membuat aku bersyukur. Apalagi ada istri yang setia mendampingiku dari nol. Anak- anak yang semoga juga sholih dan sholihah.
Sebelumnya aku tak pernah berpikir bahwa jalan hidupku berjalan mulus. Sekali lagi pasti ada andil istri yang tulus mendoakanku. Juga mendukungku meski di saat- saat tersulit dalam hidupku.
Oleh karenanya aku tak patut jika menyakitinya. Di saat susah dia rela berpura- pura bahagia bersamaku meski hatinya menangis, tak mungkin saat ekonomi mulai membaik aku membuatnya menangis pilu lagi.Â
Sebagai orang yang sering membimbing umat untuk menjadi umat yang berpegang pada tali Allah, maka aku harus menjadikan diri sebagai teladan juga. Jangan sampai ada istilah gedhang woh pakel, bisa menasehati orang sementara diri sendiri berperilaku lebih buruk dari jamaah pengajian.
Pikiran dan tenaga kucurahkan untuk umat. Dalam mengisi pengajian pun tak ada tarif tertentu. Bahkan jika ada waktu dan panitia pengajian mengundangku untuk mengisi acara aku akan ikhlas mengisi acara meski tanpa dibayar.
Istriku juga tak pernah memprotes aktivitas dakwahku itu. Baginya kami sudah diberi kemudahan untuk menjemput rezeki dari jalan lain.
"Dakwah itu jangan untuk mencari penghidupan, pakne..."
"Iya, bu. InsyaAllah. Allah akan memberi rezeki yang tak terduga untuk kita..."
"Aamiin. Yang penting pakne istiqomah berdakwah. Trus nggak neko- neko juga..."
Aku tersenyum. Kucium kening istriku. Kuusap bahunya pelan. Aku paham maksud istriku itu. Aku harus menjaga hati, jangan mentang- mentang menjadi ustadz lalu aku begitu mudah melabuhkan hati lagi pada perempuan lain.
Poligami. Sudah ada aturan jelas bagi lelaki yang ingin poligami. Dan tak satupun persyaratan yang bisa kupenuhi. Pertama, izin dari istri sudah jelas tak kudapatkan. Dari perkataannya tadi sudah jelas menyiratkan kalau aku tak diberi izin. Lagipula aku tak mau memperberat diri sendiri dengan berpoligami.Â