Beberapa hari ini Husna berangkat sekolah diantar ayahnya dan seorang perempuan muda yang cantik, anggun, ramah. Yang mengantar Husna sampai halaman sekolah ya perempuan itu.Â
Kulihat Husna, yang adalah putriku sendiri, tampak murung. Entah apa yang dipikirkannya. Ayahnya juga tak mengeluhkan kondisinya seperti biasa. Mungkin karena waktunya sudah banyak tersita untuk bekerja dan perempuan itu.Â
Aku jadi kesal sendiri dengan kelakuan ayah anakku itu. Bahkan tugas prakarya SBdP membuat kolase biji-bijian pun tak dibuat Husna. Padahal dia hanya perlu menyiapkan beberapa jenis biji-bijian, lalu ditempelkan pada gambar yang sudah kubagikan.Â
Di waktu istirahat pun Husna hanya berada di dalam kelas. Tak ke kantin. Tak mencari bu guru favoritnya, kata ayahnya dulu.Â
Aku menjadi khawatir dengan kejiwaan putriku itu. Tak ada semangat belajar meski bertemu denganku. Tak seperti minggu-minggu lalu.Â
***
Waktu pulang sekolah sudah hampir dua jam berlalu. Ayah Husna belum menjemput putri cantik itu. Sementara Husna juga sudah menangis-nangis.Â
Kuhubungi ayah Husna berulang, tak ada respon apapun. Akhirnya kuputuskan mengajak Husna pulang ke rumahku.Â
Rasa kangenku pada putriku itu kuluapkan di rumah. Kumasakkan makanan kesukaannya, menyiapkan air untuk mandi, bermain, bercerita. Aktivitas yang sangat kuinginkan selama enam tahun lebih, setelah kami dipisahkan secara paksa.Â
Aku tak memegang HP sampai akhirnya Husna tidur. Aku lupa, tak mengabari ayah Husna lagi, kalau anak itu bersamaku. Kulihat notif WA, VC, telepon di layar HPku. Ternyata dia masih menghiraukan keberadaan Husna. Namun tak ku balas semua pesan ayah Husna. Segera kumatikan HPku. Aku tak ingin diganggu oleh siapa pun.Â