Ya... aku tak melihatnya di kampungku. Terakhir aku bertemu dengannya dengan kondisi perang dingin. Entah kenapa dia melakukan itu. Aku tak begitu memikirkannya.Â
Sampai saat ini dia masih sendirian. Dan itu menjadi bahan olok-olokan bagi kami. Aku sudah terbiasa dengan perlakuan seperti itu.Â
**
Satu hari setelah reunian, laki-laki ---teman sejak aku kecil--- menemuiku di rumah. Bapak kebetulan masih di sawah.Â
"Ada apa, Yan? Tumben ke sini..."
"Ketus amat sih, non. Cantiknya hilang loh nanti..."
Aku mendengus kesal dengan ucapannya itu. Lama tak ketemu, begitu ketemu malah mulai mengajak perang saja.Â
Aku lihat di ujung jalan bapak pulang dari sawah. Sambil menenteng cangkul dan topi caping melindungi kepalanya. Melindungi rambut yang mulai memutih dimakan usia.Â
"Sudah. Kamu pulang saja, Yan. Biar nggak dimarahi bapakku..."
Dia tertawa mendengar ucapanku. Sudah menjadi rahasia umum di kampungku, tiap ada laki-laki ke rumah pasti kena marah bapak. Ada saja yang salah menurut bapak.Â
Dia bersikukuh tak mau beranjak. Aku kesal sekali dengan laki-laki di hadapanku itu. Dia tak tahu selepas marah padanya, aku juga akan mendapatkan hal serupa dari bapak .Â