Selama Indonesia merdeka, saat ini sepertinya keadaan nasional menjadi sedikit terganggu. Seperti ada bibit perpecahan di dalam negeri.  Umat beragama yang semula adem ayem menjadi panas, entah karena politik nasional ataukah memang karena kurangnya toleransi beragama.Â
Akan tetapi yang saya perhatikan selama saya sekolah sampai bekerja di instansi pendidikan milik swasta, tak ada sikap yang menunjukkan sikap tidak toleransi terhadap umat beragama lain. Tri kerukunan umat beragama benar-benar terjaga. Semua pemeluk agama mengamalkan ajaran sesuai agamanya masing- masing.
Hampir tak ada umat beragama lain yang mencampuri ajaran agama lain. Kecuali ada orang yang sengaja mengambil pendidikan filsafat perbandingan agama, pasti mengkaji seluruh kitab suci.Â
Baca juga : Belajar dari "Aku Kecil": Merenungkan Kembali Makna Toleransi
Isu keberagaman agama yang saling dibenturkan satu sama lain tampaknya memang dimanfaatkan pihak ketiga. Indonesia adalah negara yang kaya raya. Menjadi incaran negara lain. Mereka saling berkompetisi agar bisa mendapat hati rakyat Indonesia. Sayangnya rakyat Indonesia banyak yang tak menyadarinya.Â
Persatuan dan kesatuan bangsa harus kita pupuk lagi agar kejayaan Indonesia selalu terjaga. Tak perlu lagi saling menjatuhkan satu sama lain. Perbedaan sangat lumrah dan biasa. Â Allah sendiri sengaja menciptakan bumi dan seisinya dengan keunikannya. Untuk saling melengkapi dan agar saling mengenal serta berkomunikasi yang baik satu sama lain.Â
Baca juga : Mengajarkan Toleransi Beragama di Jakarta Melalui Wisata Religi
Kalau perdebatan agama itu kita lakukan, Â akan menjadi sangat lucu sekaligus memprihatinkan. Sebutan kafir untuk umat selain orang yang memeluk agama Islam itu tercantum dalam Alquran.
Akan tetapi sejak dulu kala hampir tak ada umat Islam yang mengkafirkan temannya ketika bergaul sehari-hari. Bahkan saya sendiri senang menyebut mereka non muslim ketika berkomunikasi. Saling menghormati sampai saat ini.Â
Selain kata kafir ada juga sebutan Gembala yang tersesat bagi umat yang tidak beragama Kristen Katolik. Maitrah sebutan bagi umat Non Hindu, Abrahmacariyavasa bagi umat Non Buddhis. Saya pun tak mempermasalahkan itu semua. Kenapa? Karena saya memang orang muslim.
Kalau menurut ajaran kitab suci mereka disebut seperti itu kenapa mesti marah? Saya tak akan mengatakan umat lain intoleran. Prinsip saya berpegang pada ayat suci yang artinya bagimu agamamu bagiku agamaku. Itu sudah cukup.Â
Baca juga : Keterkaitan Toleransi dalam Negara Hukum terhadap Sudut Pandang Islam
Hal terpenting sekarang ini kita kembali ke ajaran agama masing-masing. Laksanakan perintahNya dan jauhi segala laranganNya. Ini akan lebih mendewasakan pelaksanaan agama. Beragama secara dewasa akan membuat kehidupan lebih damai.
Tak perlu ada istilah mengganti kata kafir dengan non muslim. Isu ini menjadi perdebatan, Â ada yang pro dan kontra. Mari sudahi pertengkaran yang melibatkan dogma atau ayat di kitab suci yang berbeda.Â
Sebagai warga negara Indonesia yang beragama sudah saatnya kita kembali mengeratkan jiwa persatuan dan kesatuan demi kejayaan Indonesia. Bukankah itu lebih utama?