Mohon tunggu...
Jonter Sitorus
Jonter Sitorus Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Jonter Pandapotan Sitorus, kelahiran Pematang pao 1 oktober 1986. Mari Kita Berkarya...

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kurikulum 2013 Sebagai Jawaban Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia ?

18 September 2013   14:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:43 3458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Seiring dengan penerapan Kurikulum 2013, pembelajaran yang diharapkan oleh pemerinah mengarah pada tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Ranah kognitif berbicara pada kemampuan anak dalam memahami konsep-konsep ilmu setiap pelajaran atau diindikasikan dengan bentuk pertanyaan (tahu apa?), ranah afektif berbicara pada kemampuan anak dalam memberikan respons/sikap terhadap materi yang ia pelajari atau diindikasikan dengan bentuk pertanyaan (tahu mengapa?), dan ranah terakhir, yaitu ranah psikomotorik/keterampilan atau diindikasikan dengan bentuk pertanyaan (tahu bagaimana ?)

Sejalan dengan itu, penerapan kurikulum 2013 diharapkan memberi kontribusi yang signifikan terhadap setiap mata pelajaran. Pada akhirnya, kurikulum 2013 dapat berpengaruh besar menciptakan peserta didik yang produktif, kreatif, inovatif melalui penguatan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang terintegrasi. Bentuk penilaian inilah yang sering dimunculkan dalam kurikulim 2013 dengan penilaian autentik dengan pendekatan Saintifik (mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan membentuk jaringan).

Memang harus diakui, selama ini dalam penerapan kurikulum terdahulu (Baca kembali tulisan Guru kurikulum Vs Guru Inspiratif di www.kompasiana.com/jonter. ) masih lebih dominan menerapkan pembelajaran pada ranah kognitif walaupun sebenarnya gagasan kurikulum 2013 sudah dimunculkan saat itu. Hanya saja, penerapannya yang belum seutuhnya.

Jika dikaitkan dengan pembelajaran bahasa Indonesia, kenyataaanya selama ini masih berbasis inkonteks. Maksudnya, pembelajaran Bahasa Indonesia masih meyuguhkan tek-teks yang lepas dan bukan merupakan teks yang utuh. Dengan kata lain, teks-teks yang disajikan dalam buku pembelajaran hanya berupa potongan-potongan paragraf. Dalam penerapannya, potongan-potongan paragraf tersebut tentu tidak akan memuat keseluruhan informasi secara utuh.

Jika soal-soal yang diberikan masih seputar kebahasaan, tentunya tidaklah terlalu kita permasalahkan. Namun, bagaimana dengan pembelajaran Bahasa Indonesia yang berkaitan dengan kesastraan patutlah kita permasalahkan. Mengapa? Alasannya sederhana saja. Secara teoretis cakupan sastra itu memuat dua wilayah kajian. Pertama, sastra masuk dalam kajian kebahasaan.Kedua, sastra juga termasuk dalam kajian wilayah seni. Sastra masuk dalam kajian bahasa jelas memberi isyarat bahwa dalam menghasilkan karya sastra tersebut harus menggunakan bahasa sebagai media utamanya. Tanpa bahasa tentulah sastra tidak ada. Demikian pula, sastra termasuk dalam kajian seni karena selain sastra berkitan dengan bahasa tentulah sastra juga berkaitan dengan hasil imajinasi/pemikiran pengarangnya. Dalam sastra itu, ada nilai-nilai yang didapatkan. Nilai sastra terbut salah satunya nilai estetika. Oleh karena itu, setelah kita membaca salah satu karya sastra ada rasa puas atau bahkan menyenangkan.

Selain itu, dalam memahami sastra tentunya sudut pandang seseorang tidaklah sama walaupun secara logisnya ada jawaban yang mendekati. Akan tetapi, apakah itu dapat dijadikan jurus ampuh dalam menangani masalah itu? Tentu tidak!

Keterkaitan dengan pembelajaran sastra, selama ini masih tersaji bentuk-bentuk cuplikan sastra padahal keutuhan isi cerita tersebut belum memadai. Kita lihat saja satu contoh soal Bahasa Indonesia seperti berikut.

Aku dan Marno bertugas menarik bom peledak dan pasukan lainnya bertempat agak jauh di seberang jalan di balik tanggul sawah yang agak tinggi letaknyabersenjatakan stegun-stegun dan sebuah bregun untuk mengacaukan pengawal-pengawal konvoi dan melindungi pengunduran diri yang menarik pasangan-pasangan. Pertanyaan yang dimunculkan adalah unsur apakah yang paling dominan daricerita itu? (a. Alur, b. Latar, c. Situasi, d. Sosial, e. Tema)

Bagi sebagian guru, jawaban itu bisa saja dijawab dengan benar, tetapi bagaimana dengan sebagian guru lain mungkin juga akan menjawab dengan penuh keraguan. Pasalnya, bentuk pertanyaannya mengandung “umpan”. Ibarat umpan saat memancing ikan, tentu umpan itu boleh pilih oleh ikan-ikan lainnya untuk dimakan dan boleh juga tidak menjadi pilihan. Artinya, umpan tersebut akan berada pada situasi mana suka. Demikian halnya, bentuk soal di atas. Siswa akan menjawab dengan cara mana suka. Maka tidak heran, ada siswa yangmenjawab dengan menghitung kancing bajunya.

Sebenarnya, sebagian siswa dapat memahami pertanyaan itu apabila ia sudah terbiasa “bergaul” dengan teks-teks sastra. Maksudnya,mungkin sebagian siswa yang sangat senang dengan sastra katanlah siswa yang rajin membaca seputar sastra mudah menebak cerita itu. Dampaknya, mereka akan terbantu mengenali konsep apa yang ada dibalik cerita itu, tetapi bagaimana dengan siswa yang sama sekali tidak suka bahkan “alergi” mendengar kata sastra. Pastilah tindakan yang dlakuakn oleh siswa menemukan dan mengkreasikan jawaban pintas. Kita sebagai guru tentu hal itu tidak boleh diabaikan begitu saja.

Semoga dengan penerapan kurikulum 2013 ini dengan bentuk soal-soal yang berbasis teks dengan integrasi dengan mata pelajaran lainnya akan membawa perubahan dalam setiap materi pelajaran umumnya dan khususnya materi Bahasa Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun