Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tentang Doa

10 Maret 2020   16:49 Diperbarui: 10 Maret 2020   17:12 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apa yang akan terjadi jika engkau tidak pernah berdoa?. Sebuah pertanyaan yang aneh, tetapi sebetulnya sangat mendalam, perlu kejujuran dan ketabahan dalam menelusuri jawaban, dan jika berani, semoga kita bertemu dengan hakekat paling mendasar dari sebait doa.

Doa adalah "permohonan" kata seorang ulama. Tetapi ketika saya tidak mendoakan makanan yang saya santap, tetap saja setelah selesai makan perut kenyang, tubuh sehat, gizi cukup. Lantas, apakah hasilnya akan berbeda jika saya berdoa sebelum makan? Kemaren saya berdoa agar hujan turun, sebab tanaman di kebun bunga saya sudah perlu disiram. Tetapi hujan tidak turun bahkan hingga seminggu, jadi saya ambil selang air, colokin ke keran di halaman, saya siram semua bunga di halaman. Semua tanaman menjadi segar, tampaknya berterimakasih ke saya. Dan, itu saya lakukan tanpa doa.

"Bekerja dan berdoa" atau "berdoa lalu bekerja", ora et labora, kata pepatah. Tetapi ada orang yang hanya bekerja tanpa berdoa lalu sukses. Dan, tampaknya belum ada yang sukses hanya karena berdoa, berdoa, dan berdoa saja sepanjang hari.

Tak perlu kau doakan agar matahari terbit menyingsing fajar, sebab itu pasti terjadi. Tidak perlu kau berdoa agar jagung di ladangmu berfotosintesis, saat matahari terbit fotosintesis langsung berproses, dengan atau tanpa doamu. Jika sudah cukup umur, jagung akan berbuah, dengan doa atau tanpa doa. Saat ditengah padang rumput kau bersua dengan singa, mana yang lebih kau pilih, duduk bersimpuh dan lalu berdoa agar Tuhan menyingkirkan singa dari hadapanmu, atau mengambil langkah seribu melarikan diri, atau jika terdesak,  memilih untuk mengerahkan daya dan upaya bertarung hidup-mati dengan pilihan, singa atau kau yang mati?

Banyak filsuf yang mengatakan bahwa doa adalah wujud kelemahan diri, ketidakberanian untuk bertarung sampai akhir, keengganan untuk mengerahkan segala daya yang ada, dan karena itu membutuhkan sesuatu yang dapat dijadikan dalih dan pelarian.  Jika melihat keadaan sosial saat itu, mudah memahami mengapa para filsuf sampai tiba pada kesimpulan tersebut. Pada masa itu, segala jenis doa yang dihaturkan atau yang dipanjatkan memang seperti itu.

TETAPI, STOP, JANGAN LANGSUNG MEMAKI TULISAN INI.

Jika begitu, perlukah berdoa?, dengan lantang aku jawab: "sangat perlu dan harus". Tetapi, hakekat dari doa yang saya maksud adalah kontemplasi diri, pengosongan diri, penyerahan diri, komunikasi spiritual vertikal, doa harus menjadi ungkapan kerendahan hati.

Ketika engkau bekerja keras dengan gigih dan jujur, itu adalah sebentuk doa. Ketika siswa belajar keras tak kenal lelah meraih prestasi akademik, itu adalah sebentuk doa. Ketika hakim berjuang mati-matian menegakkan keadilan formal hukum, itu adalah sebentuk doa. ketika Polisi di jalan raya berpeluh menegakkan aturan perlalu-lintasan, itu adalah sebentuk doa. Ketika guru dan dosen membimbing siswa dan mahasiswa, ketika guru dan dosen menjadi inspirasi bagi murid, itu adalah sebentuk doa. Ketika orangtua berpeluh mencukupi gizi dan menjadi motivator bagi anak-anaknya, itu adalah sebentuk doa. 

Ketika aku menolong tetangga dengan tulus dan ikhlas, itu adalah sebentuk doa. Ketika aku mengantar orang yang tersesat sampai ke tujuan dengan selamat, itu adalah sebentuk doa. Ketika aku taat membayar pajak tepat waktu dan tepat jumlah, itu menjadi doa untuk bangsa dan negara. Ketika aku tidak menyogok dan menolak sogokan, itu adalah sebentuk doa. Semua itu adalah doa, yang meski tanpa suara tetapi bergaung memanjat tinggi ke angkasa, jauh lenih tinggi dari doa-doa yang diteriakkan keras-keras.

Ketika aku tidak berani bertarung secara sportif dengan seseorang atau sesuatu, lalu aku berdoa agar seseorang itu ditimpa azab, itu bukan doa tetapi kutukan. Ketika aku enggan belajar keras selama tiga tahun, tetapi menjelang ujian akhir menggelar doa bersama, itu bukan doa bersama tetapi kebodohan bersama. Ketika aku menerima sogokan, terlambat masuk kantor dan pulang lebih cepat, ketika aku tidur atau chat pada saat jam kerja, itu adalah konspirasi kejahatan.

Maksud saya begini, "doa yang berwujud dan dirangkai dalam untaian tindakan penuh kasih saying ketulusan dan kejujuran" jauh lebih berfaedah dari "doa yang dirangkai dalam untaian kata-kata yang mulus mempesona telinga".

Nah, apakah kita bangsa yang berdoa? .... atau doa yang mana?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun