Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bencana Nasional

6 Maret 2019   14:29 Diperbarui: 6 Maret 2019   14:57 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Kau keterlaluan dalam menilai sesuatu, manusia selalu berkemungkinan membuat kesalahan. Tetapi yang penting adalah apakah manusia itu mengakui dengan tulus, dan lalu berikhtiar memperbaiki kesalahannya. Kau itu seorang ekstrimis ya". Begitulah untaian kalimat umpatan dari seorang sohib dekat, sohib yang kebetulan bertugas menjadi abdi Negara di bidang pendidikan.

Maksudmu kawan, kesalahan merancang pondasi dan struktur dari sebuah gedung pencakar langit seratus lantai adalah wajar, asalkan siperancang mengakui dengan tulus kesalahan perhitungannya, dan memperbaiki kesalahan itu pada gedung pencakar langit lainnya?, meskipun kesalahan itu memakan korban ratusan jiwa saat saat gedung pencakar langit itu ambruk mencium tanah?

Memang betullah kau itu ekstrimis habis, atau ultra ekstrimis, atau apalah. Kau samakan pula pendidikan dengan gedung pencakar langit. Sohib ini kembali mengumpat, apakah birokrat harus selalu mengumpat ya?

Begitulah, dan itu saat kami diskusi tentang sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru untuk atau mulai tahun 2019. Sistem itu berubah total dari sistem seleksi sebelumnya. Perbedaan paling penting ada dalam beberapa hal. Pertama, tidak ada lagi ujian berbasis cetak, semua berbasis komputer, UTBK namanya, singkatan dari Ujian Tulis Berbasis Komputer. Kedua, UTBK dilaksanakan dan ditanggungjawabi oleh sebuah lembaga yang dibentuk khusus, LTMPT, Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi, bukan lagi oleh paguyuban rektor PTN. Ketiga, setiap calon mahasiswa berhak mengikuti UTBK sebanyak dua kali, dan saat melamar ke PTN yang diinginkan calon mahasiswa berhak memakai hasil terbaik dari dua kali UTBK yang diikuti. Keempat, setiap siswa yang mengikuti UTBK akan diberikan rincian hasil tes.

Bukankah sistem ini luar biasa bagus, siswa diberi dua kali kesempatan, hasil tes diberikan ke siswa. Ini sangat akuntabel kawan, sangat terbuka dan jujur. Kata sohibku ini penuh semangat.

Terbuka dan jujur?, semoga begitu ya. Tetapi tolong jawab satu pertanyaan penting, mengapa hasil tes diberikan ke peserta sepuluh hari sesudah tes?. Saya beberapa kali mengikut GRE Physics Test berbasis on-line, dan hasil tes langsung saya peroleh satu detik setelah waktu tes berakhir. Mengapa sistem UTBK butuh sepuluh hari, mengapa? Sepuluh hari adalah selang waktu yang sangat panjang, dan selama selang sepuluh hari itu bisa terjadi apa saja, negosiasi atau apalah, sebab manusia bisa melakukan apa saja. Bingung juga temanku ini menjawab, kenapa butuh sepuluh hari ya? Katanya.

Dan lihat kawanku, apa yang terjadi ketika tanggal 1 Maret 2019 pukul 10.00 WIB pendaftaran UTBK dibuka?, sistem kacau balau kawan, sangat kacau sekali. Foto bisa tertukar, belum bayar dibilang sudah bayar, sinkronisasi data-base siswa kacau balau. Ini bencana kawan, malapetaka nasional, semestinya 1 Maret ditetapkan menjadi hari berkabung nasional.

Ekstrim, ultra ekstrimis, begitulah kau, kata sohibku ini mengumpat lagi. Itu mudah diperbaiki kawan, dan tanggal 4 Maret sudah berjalan normal kawan, sudah normal. Lalu mengapa menjadi bencana? .... Huh. Sohibku ini sampai terengah-engah dan matanya mulai merah, itu pertanda bahaya. Jadi, aku sodorkan segelas kopi kesukaannya, capucino. Sruuuppp ... amarah mereda.

Begini kawan, bukan soal sistem yang macet, seperti yang kau bilang itu gampang diperbaiki. Tetapi ini tentang paradigma kawan, sekali lagi paradigma. Di mata saya, perubahan sistem ini dibuat asal-asalan tidak terencana, hanya sekedar agar tampak berbeda dari sebelumnya, tampak bagi saya seolah-olah perubahan ini dibuat dari hasil diskusi di warung kopi, lalu disiarkan ke publik. Bahkan, terkadang saya berpikir perubahan ini hanya sebuah proyek, proyek, proyek.

Selain ekstrimis, kau juga selalu berpikir negatif. Sohibku ini mengumpat lagi. Berapa banyak guru besar, berapa banyak doktor lulusan dalam negeri dan lulusan luar negeri, ratusan pakar IT, semua bekerja sama merancang dan membuat sistem ini. Kau ini apa dibanding mereka, sehingga kau meragukan kemampuan mereka? Sontoloyo juga kau, bah. Sohibku ini, sejak duduk di birokrasi, muncul kegemaran yang baru, mengumpat.

Yeah, kawan. Guru besar berikut ratusan doktor dan pakar IT itu, ternyata tidak mampu memprediksi masalah di hari pertama pendaftaran, lalu bagaimana dengan potensi masalah di hari kedua, hari ketiga, di semua hari-hari berikutnya? Lagi pula kawan, tidak aku ragukan kemampuan dan kapasitas mereka, tetapi aku ragukan keseriusan dan niat baik mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun