Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bukan Hanya Sekolah Dasar, Semua Jenjang Pendidikan Kurang Bermutu

19 Desember 2017   15:47 Diperbarui: 20 Desember 2017   10:54 2381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kompas.com/Sukoco

Dua hari berturut-turut, 14 dan 15 Desember 2017, harian Kompas menurunkan tulisan tentang mutu sekolah dasar (SD) yang rendah pada bidang calistung (membaca, menulis, berhitung). Menurut hasil Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI), pada tingkat SD, 77% siswa kurang dalam matematika dan hanya 20,5% yang cukup. Dalam membaca, 46,8% berkemampuan kurang dan 47,1% berkemampuan cukup. Dalam hal sains, 73,6% berkemampuan kurang, dan hanya 25,3% berkemampuan cukup. Kondisi ini cukup menakutkan, sangat mengancam terwujudnya bonus demografi yang kita cita-citakan bersama.

1. Adil Menilai, Soroti Semua jenjang

Mungkin karena paradigma yang mengakar bahwa pendidikan dasar (SD) menjadi landasan ke jenjang pendidikan berikutnya, itu membuat kita lebih sering melakukan asesmen, surveI, penilaian, atau apalah namanya terhadap pendidikan dasar, dan hampir melupakan jenjang pendidikan berikutnya, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi (PT). Ini tindakan yang sangat tidak adil.

Tulisan Victoria Franggidae di Harian Kompas, 2 September 2016, memberi kita gambaran bahwa mutu yang rendah bukan hanya pada jenjang SD, tetapi di semua jenjang pendidikan. Pada tulisan itu disebutkan bahwa dari hasil surveI OECD, Indonesia terpuruk di peringkat paling bawah pada hampir semua jenis kompetensi yang diperlukan orang dewasa untuk bekerja dan berkarya sebagai anggota masyarakat, seperti kemampuan literasi, numerasi, dan kemampuan memecahkan masalah. Pantas masalah kita bertambah terus, kita tidak punya orang dewasa yang becus menyelesaikannya.

Semoga masih ada yang mengingat peristiwa politik yang boleh dikategorikan humor gempa bumi. Instruksi "all out" dari sang ketua melalui saluran telepon, diterjemahkan anak buah di lapangan menjadi "walk out". Salah menerjemahkan itu terjadi pada orang-orang yang sudah selesai menempuh semua jenjang pendidikan yang ada, sudah menyundul langit. Maka sangat tidak bijaksana hanya menyalahkan pendidikan SD, lebih tepat mengatakan semua jenjang kurang bermutu.

Tulisan Syamsul Rizal, Guru Besar Universitas Syiah Kuala, di harian Kompas 21 September 2017 memperkuat dugaan bahwa mutu rendah itu terjadi pada semua jenjang pendidikan. Ada 42 mahasiswa baru yang saya uji, salah satu soal yaitu (1/2) - (1/7) + 2 = ..., hanya 11 mahasiswa (26,2%) baru yang bisa menjawab benar. Seperti itu hasil riset sederhana yang dilakukan Pak Syamsul Rizal. Sebanyak 31 mahasiswa baru yang tidak mampu menyelesaikan perhitungan sederhana (1/2) - (1/7) + 2 = ..., saya tidak bisa membayangkan bagaimana ke-31 orang itu akan menjalani dan menyelesaikan perkuliahan, tetapi besar kemungkinan pada akhirnya mereka akan memperoleh gelar sarjana strata satu.

2. Kebijakan dan Sistem Tak Bermutu

Visi dan misi yang baik, kebijakan yang bermutu dan kompatibel, sistem yang baik, yang dijalankan oleh orang-orang yang berkompetensi tinggi, ditopang oleh sarana dan prasarana yang cukup, itu semua adalah syarat dasar agar layak mengharapkan output pendidikan yang bermutu. Jika begitu, jangan hanya mempertanyakan kompetensi guru di sekolah, mereka yang menjadi ujung tombak proses pendidikan itu. Kompetensi dari orang-orang yang berwenang memutuskan kebijakan pendidikan, dan kualitas dari kebijakan yang mereka tetapkan, perlu dan sangat layak diragukan.

Sebelum menjabat menteri pendidikan, Bapak Anies Baswedan dan Doni Kusuma adalah kritikus yang mengkritik keras dan sangat tidak setuju UN. Tetapi saat menjabat Menteri Pendidikan, bapak itu berkeras mempertahankan keberadaan UN. Menteri Pendidikan yang berada pada posisi sangat tinggi pada hierarki kebijakan, sangat disayangkan hanya bisa menelurkan gerakan mengantar anak ke sekolah, UN on-line yang terus bermasalah, full day school, dan lain-lain yang semuanya bersifat teknis. tetapi permasalahan kurikulum pendidikan hingga saat ini belum tuntas, dan tampaknya tidak akan tuntas.

Jika kita sepakat bahwa persekolahan itu hanya separuh dari keseluruhan pendidikan secara menyeluruh, maka menimpakan kesalahan hanya ke sekolah terlebih hanya ke guru adalah tindakan yang sangat tidak adil, dan semakin tidak adil jika kesalahan hanya tertimpa ke jenjang pendidikan SD. Betul bahwa kompetensi guru harus ditingkatkan, tetapi bukan hanya itu, kompetensi orang pemutus kebijakan dan kualitas kebijakannya harus ditingkatkan.

Tulisan Syamsul Rizal memberitahukan bahwa kita memiliki sistem pendidikan yang sangat aneh dan ajaib. Entah bagaimana caranya, pasti ajaib,  siswa yang tidak mampu menyelesaikan hitungan sederhana setingkat SD, bisa lolos dari jenjang SD, lolos dari jenjang SMP, lolos dari jenjang SMA, bahkan lolos pada seleksi penerimaan mahasiswa baru ke PTN? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun