Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pentingnya Budaya Menulis

26 Maret 2017   15:04 Diperbarui: 26 Maret 2017   23:00 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan ini terinspirasi dari “erniwardhani1/meretas-kesadaran-masyarakat-via-aksara_58d3da1ab07a61bd35f3063d”

Peradaban Nusantara bertumbuh-kembang berbasiskan “budaya bertutur”. Informasi disebarkan secara lisan, baik pada rentang satu generasi, begitu juga saat mewariskannya ke generasi selanjutnya. Fakta membuktikan, begitu sulit menemukan dokumen tertulis yang bisa dijadikan sumber rujukan memahami masa lalu. Dari ragam cerita lisan yang menceritakan kebesaran berbagai kerajaan yang pernah ada di Nusantara, dokumen tertulis sangat sedikit jumlahnya, tidak sebanding dengan kebesaran dan kemegahan yang diceritakan.

Kelemahan budaya lisan itu adalah begitu mudahnya terjadi bias, dan bias itu terjadi pada generasi yang sama, apalagi saat informasi diteruskan ke generasi berikutnya, maka bias makin luas, deviasi makin besar. Konsekuensi lanjutan dari budaya lisan adalah bahwa budaya lisan tidak akan melahirkan budaya membaca, dan tidak akan menelurkan budaya menulis. Masyarakat yang bertumbuh di bawah pengaruh budaya lisan hanya akan mengasah telinga dan mulut menjadi sangat tajam. Mata, tangan, dan terutama otak kebanyakan menganggur.

Pasti banyak pemikiran dan ide besar dari nenek moyang kita, tetapi tidak dituliskan, hanya diucapkan. Pemikiran dan ide besar itu hilang digerus oleh perjalanan waktu. Bandingkanlah pada eranya Plato, Socrates, Ptolemeus, yang semua pemikirannya terdokumentasikan dengan baik dalam tulisan, dan awet hingga kini menjadi rujukan. Itu ribuan tahun yang lalu.

Maka mudah dipahami jika budaya menulis, dan atau kemampuan literasi suatu bangsa, adalah salah satu kunci kontinuitas kemajuan peradaban. Tanpa budaya menulis, peradaban suatu generasi selalu kembali ke titik nol. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berkembang pesat dan makin pesat, salah satunya ditopang oleh budaya menulis.

Begitulah bahwa budaya menulis itu amat sangat penting dan esensial. Jika kita ingin meneruskan pengetahuan kita ke generasi berikut, apa yang kita wariskan itu menjadi rujukan awal bagi generasi masa depan, maka mengabaikan pengembangan kemampuan menulis adalah sebuah kesalahan besar.

Maka kita pantas bersedih. Pengalaman saya berinteraksi dengan siswa SMA menghasilkan kesimpulan, bahwa kemampuan menuangkan pikiran ke tulisan berada di bawah rata-rata. Jangankan menulis, bahkan membaca dan memahami konteks dari sebuah paragaraf juga di bawah rata-rata.

Bahkan ketika pemerintah menerbitkan aturan bahwa seorang guru besar wajib menghasilkan paling tidak sebuah karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal internasional dalam selang waktu 3 tahun, jika tidak maka tunjangan kehormatan yang nilainya cukup besar akan disetop, respon dari para guru besar yang mayoritas adalah memprotes. Bahkan beberapa lebih memilih untuk melepas gelar yang terhormat itu. Jika guru besar saja merasa keberatan menulis, apalagi siswa SMA, ya kan?

Dalam selang beberapa tahun ini saya meneliti tulisan di harian KOMPAS rubrik opini. Belum pernah saya temukan sebuah tulisan yang merujuk ke hasil karya orang Indonesia. Bahkan tulisan yang berkaitan dengan hukum-pun selalu merujuk ke karya atau thesis dari luar. Entahlah, apakah ribuan profesor dan ribuan doktor yang kita miliki di sini tidak pernah menuliskan apapun?

Jika generasi orang Jawa masa depan berkehendak mempelajari filosofi wayang, buku yang manakah yang akan mereka pilih menjadi rujukan? Jawabannya kemungkinan besar adalah buku yang ditulis oleh orang Belanda. Jika generasi orang batak di masa depan hendak mempelajari filosofi dan jenis-jenis ulos Batak, maka yang menjadi rujukan adalah sebuah buku yang ditulis oleh cewek dari Denmark, saya lupa namanya.

Orang Jawa belajar tentang wayang yang adalah budaya Jawa, merujuk ke sebuah buku yang ditulis oleh bukan orang Jawa, tetapi oleh orang Belanda. Orang Batak belajar tentang ulos yang adalah budaya Batak, merujuk ke sebuah buku yang ditulis oleh bukan orang Batak, tetapi oleh cewek Denmark. Bukankah hal ini sangat memprihatinkan, menggelikan, tetapi juga sangat menakutkan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun