Mohon tunggu...
Joni MN
Joni MN Mohon Tunggu... Penulis - Akademisi

Pengkaji dan Peneliti

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bangun Kebermaknaan Bukan Nihilisme

21 Juni 2020   03:57 Diperbarui: 21 Juni 2020   05:20 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Setiap mahluk hidup yang ada di atas bumi ini tidak lain merupakan ciptaan Tuhan yang kesemuanya saling memuliki kebermanfaatan satu sama lainya, karena jika ditilik secara detail dan serius maka tidak satu pun yang eksistensinya dalam kesia-siaan. Saling memberi dan menerima (take and give) dalam konteks ini adalah sesuatu kelayakan dan kewajaran terlaksana pada diri mahluk hidup ketika dalam menjalani kehidupan.

Kembalinya pada hakiki kewajaran dan kelayakan sebagai mahluk manusia sama halnya kita sudah menepis paham filsafat yang sudah mengajari kita tentang sesuatu kenihilan atau "Nihilisme'". Ajaran ini berpendapat, yakni gaib lebih banyak menyesatkan manusia daripada yang memiliki keyakinan terhadap sesuatu yang berbentuk materi atau fisik. Karena paham ini meyakini bahwa yang bersipat gaib atau meta fisik ini lebih dekat kepada sesuatu kenihilan dan mustahil.

Konsep kewajaran dan kelayakan yang seharusnya lebih berkembang di dalam seseorang itu ternyata dihalang-halangi oleh paham nihilisme sehingga melahirkan sipat egois, oleh karenanyalah terlahir perilaku cuek, akhirnya lenyaplah nilai-nilai layak-tidaj layak dan wajar-tidak wajar dari dalam diri manusia tersebut. Jika ini sudah lenyap dari diri seorang manusia, maka kasih sayang dan budi pekerti pun enyah dari dari seseorang itu.

Lenyapnya kasih sayang dan budi pekerti dari dalam dari seseorang ini lebih banyak di pengaruhi oleh paham-paham filsafat barat yang mengkaji tentang sesuatu kenihilan (nihilisme). Jika paham ini tertanam di dalam diri, maka akan terbit perilaku dan tidakan, kalau hendak melakukan sesuatu harus nampak keuntungannya, jika tidak ini tidak akan dilakukan, sampai-sampai tindakan kepada orang tua sendiri pun sudah kehilangan budi dan pekerri, yakni jasa-jasa, perjuangan, dan pengorbanan ibu dan bapak tidak lagi menjadi sesuatu yang bermakna dan pelajaran bagi diri seseorang itu. Jadi segala tindakan harus tampak keuntungannya, inilah baru dikatakan selayaknya dan sewajarnya dilakukan, ajaran yang demikian ini sangat menyesatkan.

Jika norma dan nilai kejaran dan kelayakan tidak dipahami berdasarkan konsep nihilisme maka hal tersebut akan mampu melahirkan kesadaran-kesadaran yang mengajari umat manusia tentang kebermaknaan hidup dan bagaimana me jadikan diri ridak menjadi sesuatu yang bersipat nihil, artinya sipat kesadaran saling merasa pasti tumbuh di dalam diri umat manusia tersebut, sehingga tertepislah sipat egoisme dari dalam diri umat manusia itu.

Jadi, dapat ditarik benang merahnya dari makna tersirat atas paparan di atas, yakni makna hidup hanya dapat dicapai ketika setiap manusia menunjukkan jumlah perhatian yang sama kepada manusia lainnya, dengan tidak menempatkan kebutuhan siapa pun di atas kebutuhan orang lain. Hal ini berarti membuang kemewahan yang sia-sia, hiburan untuk kepentingannya sendiri, dan kekayaan pribadi. Yang perlu dijaga dalam hal kewajaran dan kelayakan adalah saling menghargai satu sama lain, apakah berdasarkan status sosial, atau kondisi lainnya, ini kondisonal yang layak dan wajar jangan sampai merusak tatanan sosial dan merusak kondisi hati, jiwa, dan perasaan yang bagi paham nihilisme unsur-unsur ini bukan sesuatu yang perioritas dalam bertindak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun